Tak ada profesi yang paling mulia di muka bumi ini
selain menjadi guru. Tak ada profesi yang paling melelahkan di muka bumi ini
selain menjadi guru. Namun, tak akan mungkin kemuliaan dan kelelahan seorang
guru bisa diperoleh tanpa sikap profesionalisme dalam diri mereka sendiri.
Sikap terhadap profesi berarti adanya kesadaran yang permanen seperti dikatakan
Jack Snowman, Rick McCown, Robert Biehler dkk dalam Psychology Applied to
Teaching (2012), yaitu menjadi guru yang baik dan profesional itu
setidaknya memiliki 3 alasan, yaitu (1) mengajar adalah pekerjaan yang sangat
kompleks dan membutuhkan pengetahuan yang luas; (2) praktik mengajar di dalam
kelas harus selalu ditopang dan disegarkan hasil riset secara terus-menerus;
serta (3) guru yang selalu updating dengan hasil-hasil riset, baik yang
dibuat sendiri maupun dibacanya, akan menjadi guru yang lebih baik daripada
lainnya.
Otoritas profesional
Otoritas profesional berasumsi bahwa proses
pembelajaran merupakan suatu disiplin intelektual yang memerlukan pengembangan
dalam suatu wadah yang baik. Dengan kata lain, jika guru mempunyai otoritas,
guru akan mudah dikenali secara cepat dan mudah, baik oleh anak-didik maupun
praktisi pendidikan. Di samping itu, otoritas profesional dapat menunjukkan
jati diri guru, yaitu selain sebagai pembaca buku, juga sekaligus pembelajar
bagi anak didik. Ketiadaan otoritas bagi seorang guru dapat diibaratkan seperti
seorang dokter yang melakukan diagnosis tanpa pengetahuan tentang teori dan
cara mendiagnosis pasien.
Salah satu syarat yang dibutuhkan untuk menumbuhkan
otoritas profesional guru ialah bagaimana memahami untuk kemudian meninggalkan
paradigma lama dalam melakukan pola pembelajaran. Lebih dari 15 tahun para guru
di seluruh dunia terbuai dengan teori behaviorisme yang selalu berusaha mencoba
mengubah tingkah laku. Secara intrinsik, proses belajar-mengajar dalam
behaviorisme terlalu terpaku pada masalah-masalah yang kompleks dan tak
terpecahkan, yaitu asumsi stimulus-respons terlalu menyederhanakan masalah
pembelajaran yang semakin spesifik.
Pendekatan behavioristik juga sangat kurang menghargai
kreativitas siswa karena model menghafal dan meng-copy masalah menjadi
ciri lainnya dari model ini. Dalam dunia pendidikan yang sudah berkembang
sedemikian pesat sekarang ini, otoritas guru yang didasarkan pada teori
behaviorisme harus segera diubah ke dalam pendekatan functional-learning,
sebuah pendekatan yang lebih menghargai kapasitas akademis guru dan siswa
secara bersamaan.
Teori fungsional (functioning theory)
berkembang dalam 20 tahun terakhir. Model ini mensyaratkan otoritas guru
bergantung pada siapa yang mengajar.Dalam bahasa Jerome Bruner, model teori ini
seperti fungsi seorang ibu yang berinteraksi dengan anaknya melalui akuisisi
bahasa. (Bruner, “Learning the Mother Tongue, Human Nature”, September
1978). Artinya, teori ini melihat bahasa sebagai hasil dari interaksi seorang
ibu atau guru ketika menggunakan bahasa sesuai dengan rasa bahasa yang
berkembang dalam diri seorang anak.
Di dalam kelas, guru harus melihat penugasan dalam
penulisan bukan sebagai tiruan tegas, melainkan sebagai situasi ketika
penulisan mempunyai satu peran fungsional terhadap daya nalar dan daya tangkap
seorang anak. Karena itu, dalam melakukan penilaian, seorang guru harus
mengandalkan otoritas pikir dan rasa yang dimilikinya. Seorang guru dalam teori
ini tak bisa sekehendak hati dan membabi buta hanya mengikuti aturan penilaian
sepihak, tanpa mendiagnosis respons yang mencerminkan pengalaman siswa ketika
mengerjakan suatu tugas. Namun, selama program pengembangan staf memperlakukan
guru seolah-olah mereka ialah orang sakit yang memerlukan penanganan, guru akan
bertindak seperti orang sakit. Selama guru diperlakukan sebagai orang yang
tidak memiliki pikir, rasa, dan kepekaan sosial, mereka akan masuk ke kelas dan
bertindak seolah-olah mereka tidak mengetahui apa pun.
Oleh karena itu, jika satu model fungsional dalam pola
pembelajaran digunakan sebagai suatu pendekatan yang digunakan para guru di
dalam kelas, guru dapat menunjukkan otoritasnya sebagai fasilitator sekaligus
mediator pembelajaran yang baik dan bermutu. Masalahnya, bagaimana guru dapat
mengidentifikasi bahwa mereka memiliki otoritas fungsional dalam mengajar?
Jawabannya bergantung pada keinginan guru itu sendiri dan kebijakan yang akan dibuat
pemerintah. Jika kebebasan dan kesempatan diberi wadah yang luas dalam lingkup
sekolah dan kebijakan,
guru yang bisa sekaligus menjadi periset di bidangnya
pasti akan terjadi.
Empat nilai
Keterampilan menjadi guru, jika diramu dan digabungkan
dengan kemampuan melakukan riset kelas (action research) secara
terus-menerus, dalam diri guru itu akan terbentuk etos profesionalisme yang
selalu dinamis bergerak mengikuti perkembangan. Suzie Fitzhugh (2012) secara
gamblang menjelaskan pengalamannya bahwa understanding and managing the
teaching/learning process is a challenge for researchers and teachers because
it is affected by numerous variables that interact with one another.
Artinya, teknik mengamati dan observasi yang harus dikembangkan dalam proses
belajar mengajar sangatlah penting.
Catatan lain yang juga penting untuk diingat semua
guru yang menginginkan perubahan dalam perspektif dan cara mengajar yang lebih
baik ialah menumbuhkan kesadaran mengajar ialah sebuah seni. Seni mengajar
hanya bisa diaplikasikan secara sederhana jika seorang guru mampu memahami
empat hal sekaligus. Pertama, mengajar itu memerlukan keyakinan dan kepercayaan
serta memiliki tujuan yang jelas untuk dan dalam rangka memberikan anakanak
masa depan yang lebih baik. Kedua, mengajar membutuhkan kematangan dan
kedewasaan emosi yang stabil dalam rangka mengelola interaksi dengan siswa dan
teman guru lainnya. Tanpa kematangan dan kedewasaan emosi yang cukup, sangat
mustahil seorang guru bisa berkembang.
Ketiga, mengajar harus memiliki nilai yang positif,
baik bagi guru maupun siswa, seperti keharusan untuk saling menghargai,
terbuka, dan toleran, serta nilai-nilai keadaban manusia lainnya. Konteksnya
ialah mengajar itu harus selalu diisi nilai-nilai kebaikan. Terakhir, keempat,
dalam mengajar, seorang guru harus memiliki fleksibilitas, baik dari segi
perencanaan maupun penggunaan alat, bahan, dan strategi pengajaran di dalam
kelas. Yang dihadapi guru ialah anakanak yang memiliki keragaman talenta
sehingga fleksibilitas jelas kebutuhan seorang guru yang profesional.
Sumber : Ahmad
Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar