Minggu, 18 Desember 2016

Kehidupan Khas Masyarakat Baduy

A.    Sistem Organisasi Sosial Suku Baduy
 Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional  penduduk Baduy dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai Jaro  pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk  pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu Pu’un.
 Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh Jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu  bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan  berbagai macam urusan lainnya. Jaro tangtu adalah satu-satunya warga
suku Baduy yang memiliki kewenangan bertemu Pu’un.
 Jaro dangka, bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai  penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung. Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un mereka. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un.
 Walaupun demikian ada sedikit warga yang kadang tidak menaati  peraturan atau cecok dengan warga Baduy lain. Dr. Nasikun mengatakan  bahwa konflik pada hakikatnya merupakan suatu gejala sosial yang melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat
masyarakat Baduy sendiri disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan si pelanggar oleh Pu’un
untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu mulut antara dua atau lebih warga Baduy. Sedangkan hukuman berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Selain itu berzinah dan berpakaian ala orang kota juga termasuk pelanggaran berat. Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tidak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, dilarang memiliki alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu.
B.     Sistem Religi Suku Baduy
 yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya mengakui kepercayaan sunda wiwitan. Yang mana
kepercayaan ini meyakini akan adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua”
atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Kepercayaan sunda wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari, langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewahan)
 
C.     Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Baduy Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. D. Mata Pencaharian Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah  bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang. Selain itu mereka juga mendapatkan  penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan sepert durian dan asam keranji serta madu hutan. Kehidupan orang Baduy berpenghasilan dari pertanian, dimulai pada bulan keempat kalender Baduy yang dimulai dengan kegiatan nyacar yakni membersihkan semua belukar untuk menyiapkan ladang.
D.    Teknologi
 Peralatan dan teknologi kehidupan orang Baduy berpusat pada daur  pertanian yang diolah dengan menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana. Dalam adapt Baduy terutama Baduy Dalam, masyarakat tidak  boleh menggunakan peralatan yang sudah modern. Mereka mengandalkan peralatan yang masih sangat primitive seperti bedog, kampak, cangkul, dan lain-lain. F. Pakaian Malcolm Bernard mengatakan pakaian atau fashion digunakan untuk menunjukkan atau mendefinisikan peran sosial yang dimiliki seseorang. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar dapat dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut  jamang sangsang, serba putih polos itu dapat mengandung makna suci  bersih karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di  badan. Bahan dasarnya harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun. Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret  berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak  batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang  biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni.

Perbedaan suku Baduy Dalam dan Baduy Luar
 Sistem pelapisan sosial yang terdapat pada setiap masyarakat di dunia ini timbul karena di dalam masyarakat itu terdapat perbedaan status atau tingkat sosial yang dimiliki oleh setiap individu. Pada suku Baduy dikenal dua pelapisan sosial, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.
 Baduy Dalam Kanekes Tangtu ( Baduy Dalam ) adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka.Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
 1. Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
 2. Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
3. Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
4. Larangan menggunakan alat elektronik (samasekali tak tersentuh teknologi) 5. Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. B. Baduy Luar Kanekes Panamping (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
 1. Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam
 2. Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
 3. Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar:
1.      Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi- sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam. Dalam hal ini konsep HAM tidak tercetus sebagai suatu konsep mandiri dengan definisi yang jelas, karena masing-masing anggota kelompok berpandangan, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan kedudukan dan posisinya dalam struktur adat yang sudah mapan. 2.
2.       Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
3.       Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
4.       Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur,  bantal, piring & gelas kaca & plastik.
5.       Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam

Pernikahan adat Baduy
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya  pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua  perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing. Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah  pinang dan gambir secukupnya. Thomas Wiyasa Bratawidjaja dalam  bukunya mengatakan bahwa perkawinan dalam suku Baduy tidak perlu
  melapor ke pihak berwajib, hal ini sudah berlaku sejak zaman  pemerintahan Belanda. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari  baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak  perempuan. Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung
oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan
tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal  poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal. Jika setiap manusia melaksanakan hal tersebut.

Sumber : Makalah Suku Baduy oleh LutfyadePrimadani


Tidak ada komentar:

Posting Komentar