Dalam tinjauan pendidikan secara
umum, peranan pendidikan agama memberi kontribusi dalam pengembangan sumber
daya manusia, yaitu sebagai suatu proses pengembangan fitrah sebagai
makhluk Tuhan yang diberi potensi sempurna.
Secara umum, fungsi pendidikan merupakan
usaha pengalihan (transfer), yaitu alih pengetahuan (transfer of
knowledge), alih metode (transfer of methodology), dan alih nilai (transfer
of value).
Fungsi pendidikan sebagai alih pengetahuan dapat dilihat dari teori human
capital, dimana pendidikan tidak dipandang sebagai barang konsumsi belaka
tetapi sebagai investasi jangka panjang. Pemahaman tentang ajaran agama
yang luas dan komprehensif merupakan suatu investasi yang sangat berharga bagi
mahasiswa untuk meningatkan prestasi belajar, beramal dan beribadah di masa
depan yang kebih baik
Fungsi pendidikan sebagai alih metode sangat berperan terutama dalam kemampuan
penerapan ilmu dan teknologi. Penguasaan pada technological sciences
lebih merupakan proses transfer of methodology dari pada transfer of knowledge.
Fungsi pendidikan sebagai alih nilai memiliki tiga sasaran (Syahidin, 2006:7). Pertama,
pendidikan sebagai alat untuk membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan
antara kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam hal ini dapat
dipahami bahwa pendidikan dapat menghasilkan manusia-manusia yang
berkepribadian utuh. Kedua, dalam sistem nilai yang dilahirkan
juga termasuk nilai-nilai keimanan dan ketakwaaan akan terpancar pada
ketundukan manusia untuk melaksanakan ibadah kepada Tuhan-Nya menurut keyakinan
masing-masing, berakhlak mulia, serta senantiasa menjaga keharmonisan hubungan
dengan sesama makhluk. Ketiga, dalam alih nilai tersebut juga
ditransformasikan nilai-nilai yang mendukung proses industrialisasi dan
penerapan teknologi, seperti penghargaan kepada waktu, disiplin, etos kerja,
kemandirian, kewirausahaan dan sebagainya. Seperti diketahui bahwa era
industrialisasi yang berorientasi pada penggunaan teknologi memerlukan sikap
dan pola fikir yang menunjang ke arah pemanfaatan dan penerapannya secara
seimbang. Oleh sebab itu nilai-nilai IMTAK perlu dijadikan landasan dalam
pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Dari uraian di atas secara umum dipahami pendidikan agama memberi peran dan
fungsi dalam proses pembinaan pribadi yang beriman dan bertakwa, menguasai
teknologi dan berbudaya.
A.
Problematika
pendidikan Agama
Dalam rangka pencapaian tujuan
pendidikan nasional dengan paradigma baru, posisi pendidikan agama diharapkan
berada pada garda terdepan menghasilkan masyarakat yang berkarakter. Dari
segi fungsi pendidikan sebagai pengalihan nilai, maka pendidikan agama
dijadikan sebagai mata pelajaran yang memuat kebutuhan penanaman nilai
tersebut. Implikasinya, pendidikan agama secara formal ditegaskan sebagai
mata pelajaran wajib di setiap satuan pendidikan yang ada di Indonesia.
Sekalipun
payung hukumnya sudah kuat, dan fungsinya yang signifikan sebagai sarana
mentransfer nilai, namun di dalam pelaksanaannya, Pendidikan Agama masih
menunjukkan berbagai permasalahan yang kurang menyenangkan. Permasalahan
tersebut menjadikan hambatan pencapaian tujuan nilai dan pembentukan karakter.
Permasalahan
pendidikan agama (Abdul Madjid:2004: iii), dikemukakan oleh Dirjen
Kelembagaan Agama Islam Kementrian Agama, sebagai berikut:
Pertama, Islam diajarkan lebih pada
hafalan.
Pendidikan agama Islam penuh dengan nilai-nilai yang
bersifat praktis, yang langsung dapat dilaksanakan untuk kehidupan
sehari-hari. Jika pendidikan agama ditekankan kepada hafalan, maka
pendidikan agama hanya sebatas alih ilmu pengetahuan, tapi hampa dari alih
nilai.
Kedua, pendidikan agama lebih ditekankan
pada hubungan formalitas antara hamba dengan Tuhannya. Pola hubungan
seperti ini menjadikan agama hanya sebagai label formal, bukan nilai bertuhan,
atau fungsi tibal balik antara Tuhan dengan hamba.
Ketiga, penalaran dan argumentasi berfikir
untuk masalah-masalah keagamaan kurang mendapat perhatian. Persoalan agama
semakin berkembang seiring perkembangan peradaban dan budaya manusia.
Pembelajaran dengan menggunakan argumentasi berfikir bermanfaat menjadikan
pendidikan agama sebagai alat efektif penyelesai masalah kehidupan manusia.
Keempat, penghayatan nilai-nilai agama
kurang mendapat perhatian. Nilai-nilai agama sangat bermanfaat memberi
rasa. Rasa yang dipupuk akan melembaga menjadi karakter.
Kelima, menatap lingkungan untuk kemudian
memasukkan nilai Islam sangat kurang mendapat perhatian. Memahami
persoalan kehidupan sehari-hari sangatlah penting, sebab menjadikan
pendidikan agama sebagi pembelajaran kontekstual serta respon dengan
perkembangan
Keenam, metode pembelajaran agama,
khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam kurang mendapatkan
penggarapan. Penggunaan metode terkait dengan karakteristik materi yang
dibahas, situasi peserta didik, fasilitas yang tersedia, dan sebagainya.
Penggunaan metode yang variatif dan menarik akan mampu menggarap nilai-nilai
agama.
Ketujuh, ukuran keberhasilan pendidikan
agama masih formalitas. Hasil pendidikan agama haruslah memuat tiga
kompetensi, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Ukuran keberhasilan
formalitas disimbolkan dengan kemampuan hafalan dan keterampilan verbalistik.
Kedelapan, pendidikan agama belum mampu
menjadi landasan kemajuan kesuksesan untuk mata pelajaran lain. Pendidikan yang
baik bukan berdiri sendiri, terlepas dari yang lainnya. Namun pendidikan
sukses itu apabila terkait dengan berbagai pendidikan lainnya, sehingga
diperoleh hubungan serta keutuhan sebuah bangunan ilmu, tanpa terpilah-pilah,
tetapi saling menguatkan.
Kesembilan, pendidikan agama belum dijadikan
fondasi pendidikan karakter peserta didik dalam perilaku keseharian. Hal ini
didorong oleh pemahaman bahwa pendidikan agama hanya sebuah ilmu kepustakaan
verbal dan ritual, serta minimnya penggarapan fungsi dan nilai agama yang mampu
membentuk karakter.
B.
Revitalisasi
Pendidikan Agama dan kehidupan Beragama
Untuk menyelesaikan problematika
pendidikan agama dibutuhkan revitalisasi pendidikan agama dan kehidupan beragama
masyarakat Indonesia yang ada saat ini. Karena pendidikan agama dalam
sejarah Indonesia telah terbukti menjadi sumber nilai pembentukan karakter
bangsa. Dimulai sejak masuknya Islam abad ke-13, nilai agama menyatu dengan
budaya masyarakat lokal yang ada di Indonesia kala itu, kemudian membentuk
sebuah bangsa dan dasar-dasarnya, sampai mempertahankan Indonesia sebagai
bangsa dan negara yang besar hingga sekarang.
Revitalisasi pertama, perubahan
paradigma pendidikan agama dalam dunia pendidikan. Perubahan itu seiring dengan
terjadinya berbagai perubahan dinamika masyarakat, yang punya implikasi
langsung terhadap perubahan paradigma pendidikan. Antara lain perubahan
formal akademik menjadi pembudayaan nilai-nilai agama, pendidikan yang menekankan
normatif menjadi sosiologis, serta pendidikan yang abstrak menjadi pendidikan
agama kongkrit, posisi agama dijadikan sebagai solusi dalam kehidupan
(Syahidin, 2006:18).
Revitalisasi kedua, pembaharuan
proses pembelajaran. Dalam hal ini perubahan strategi teaching
menjadi learning, paradigma mengajar menjadi paradigma belajar, proses ekspose
verbal menjadi layanan professional. Menurut Sukmana (Abdul Majid:
2004,46), ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk pembaharuan proses
tersebut. Pertama, berusaha menjadi setiap materi pelajaran
sebagai bahan pembicaraan yang menarik; kedua, memberikan contoh
tokoh-tokoh ilmuwan yang sukses melalui pengalaman ilmu dan agama; ketiga,
melakukan asosiasi (menghubungkan pelajaran baru dengan pelajaran lama); keempat,
mengikuti langkah-langkah strategis sesuai dengan prinsip-prinsip didaktis; kelima,
membuat nama-nama menarik sebagai jembatan ingatan; keenam,
menciptakan suasana kelas yang menyenangkan; ketujuh, menjadikan
guru sebagai media dan siswa sebagai model dalam pembelajaran.
Revitalisasi ketiga, melekatnya
nilai-nilai agama pada setiap mata disiplin ilmu. Pendekatan ini pada
dasarnya lebih substil, namun mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mengembangkan nilai-nilai keagamaan pada anak didik (Hasbullah:2001,
182).
Misalnya ada dimensi nilai yang
terkandung dalam MIPA, diantaranya: siswa dapat belajar untuk lebih mencintai
lingkungannya, sadar akan keuntungan MIPA bagi kehidupan manusia, dan sadar
pula akan implikasi dari penerapan MIPA jika disalahgunakan untuk kepentingan
yang destruktif. Melalui pendidikan MIPA juga, siswa dapat lebih memahami
betapa agung dan perkasanya Allah SWT, yang menciptakan alam semesta beserta
isinya dalam keadaan yang teratur, sesuai dengan sunnatullah. Anak didik
juga akan menyadari bahwa apa yang terjadi di alam semesta ini pada dasarnya
berasal dari Yang Maha Satu, Allah SWT.
Dengan demikian pendidikan MIPA
dapat menjadi wawasan untuk pendidikan nilai-nilai agama, meskipun tentu saja
banyak hambatan yang dihadapi, terutama menyangkut kompetensi para pendidiknya,
baik menyangkut penguasaan metode, maupun tuntutan seorang guru yang memiliki
keimanan dan ketakwaan yang kokoh, disertai kemauannya untuk mengembangkan
nilai-nilai iman dan takwa tersebut kepada para siswanya.
Revitalisasi keempat, melakukan
berbagai inovasi pendidikan terkait dengan pendidikan agama dan keagamaan, baik
formal maupun informal. Inovasi pendidikan menjadi sangat penting karena
beberapa faktor (Hasbullah:2001, 189): pertama, terjadinya perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga memberi pengaruh kepada kehidupan
sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan bangsa Indonesia. Diakui
bahwa sistem pendidikan yang ada dan dilaksanakan saat ini belum mampu
mengikuti dan mengendalikan kemajuan-kemajuan tersebut, sehingga pendidikan
belum mampu menghasilkan tenaga yang terampil, kreatif dan aktif sesuai dengan
tuntutan dan keinginan masyarakat. Faktor kedua, pertambahan penduduk
yang pesat tentunya menuntut adanya perubahan-perubahan sekaligus betambahnya
keinginan masyarakat untuk emndapatkan pendidikan yang kian baik, dari segi
kuantitas dan kualitas lembaga pendidikan. Faktor ketiga,
meningkatnya animo masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik,
karena munculnya berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapi oleh dunia
pendidikan dewasa ini. Faktor keempat, menurunnya kualitas pendidikan,
karena tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
menuntut adanya sejumlah perubahan. Faktor kelima, kurang adanya
relevani antara pendidikan dan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. Faktor
keenam, belum mekarnya alat organisasi yang efektif, serta belum tumbuhnya
suasana yang subur dalam masyarakat untuk mengadakan perubahan-perubahan
kontekstual dan masa depan.
Revitalisasi kelima, menumbuhkan
nilai-nilai religius lokal. Masyarakat Indonesia sebelum menjadi sebuah negara,
telah terbiasa hidup dengan nilai-nilai lokal yang didasari kepada agama.
Hanya saja perkembangan nilai-nilai tersebut mengalami pasang surut seiring
dengan berbagai tantangan dan hambatannya. Nilai-nilai tersebut dapat
dijadikan sebagai modal dasar yang dikebangkan berdasarkan kebutuhan saat ini.
Dalam prakteknya, semenjak
digulirkannya otonomi daerah, peluang tumbuhnya nilai-nilai religius lokal
menjadi lebih baik. Sehingga beberapa daerah mulai mengangkat kembali
nilai-nilai sebagai basis pembentukan karakter yang lebih membumi. Perkembangan
yang cukup pesat salah satunya terdapat di Sumatera Barat yang terkenal dengan
tradisi adat basandikan syara’ syara’ basandikan kitabullah. Nilai
religius lokal yang ada selama ini dipakai dan dikembangkan dalam bentuk
perwujudan nilai-nilai baru yang lebih kontekstual.
Pemerintah dan masyarakat di
Sumatera Barat melakukan berbagai revitalisai dalam rangka menumbuhkembangkan
nilai-nilai lokal mereka. Nilai-nilai lokal tersebut diantaranya: selama
bulan Ramadhan para siswa disekolahkan di mesjid/surau (bagi muslim) dan
pemahaman kebaktian di gereja (bagi non muslim), kegiatan lomba asmaul husna
dan pemahamannya setiap tahun, didirikannya banyak sekolah kantin kejujuran,
pencanangan kampus intelektual dan religius, Peraturan Daerah berpakaian muslim
dan muslimah di seluruh kabupaten dan kota, serta visi pendidikan berbasis
aqidah sebagai ciri khas pendidikan di kota Bukittinggi.
Revitalisasi pendidikan agama dan kehidupan beragama hakikatnya merupakan
penafsiran ulang (re-interpretasi), pengembangan baru (developmental),
penegasan terhadap apa yang sudah ada (legitimasi). Kuncinya adalah,
masyarakat akan selalu mengalami perubahan termasuk nilai-nilai yang dipakai,
sedangkan pendidikan adalah alat bantu mengiringi perubahan tersebut dan
revitalisasi menjadi rumus yang dapat menyesuaikan pendidikan dengan perubahan
masyarakat.
Bangsa Indonesia memiliki kekayaan
nilai yang telah tumbuh di dalam masyarakat selama ini. Diantara nilai
tersebut diperoleh melalui pendidikan agama dan kehidupan beragama dalam
masyarakat. Potret buram masyarakat saat ini menunjukkan gambaran tidak
suksesnya pendidikan agama dan kehidupan beragama pada masyarakat
Indonesia. Untuk itu diperlukan revitalisasi sebagai langkah menjadikan
pendidikan agama bernilai dalam upaya memperkuat karakter anak bangsa
Indonesia.
Sumber : Makalah oleh Syahrull Ismet
‘penguatan karakter melalui revitalisasi
pendidikan agama’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar