Minggu, 18 Desember 2016

Peran Pendidikan Agama dalam Pembentukan Karakter



Dalam tinjauan pendidikan secara umum, peranan pendidikan agama memberi kontribusi dalam pengembangan sumber daya manusia,  yaitu sebagai suatu proses pengembangan fitrah sebagai makhluk Tuhan yang diberi potensi sempurna. 
Secara umum, fungsi pendidikan merupakan usaha pengalihan (transfer), yaitu alih pengetahuan (transfer of knowledge), alih metode (transfer of methodology), dan alih nilai (transfer of value).
          Fungsi pendidikan sebagai alih pengetahuan dapat dilihat dari teori human capital, dimana pendidikan tidak dipandang sebagai barang konsumsi belaka tetapi sebagai investasi jangka panjang.  Pemahaman tentang ajaran agama yang luas dan komprehensif merupakan suatu investasi yang sangat berharga bagi mahasiswa untuk meningatkan prestasi belajar, beramal dan beribadah di masa depan yang kebih baik
          Fungsi pendidikan sebagai alih metode sangat berperan terutama dalam kemampuan penerapan ilmu dan teknologi.  Penguasaan pada technological sciences lebih merupakan proses transfer of methodology dari pada transfer of knowledge.
          Fungsi pendidikan sebagai alih nilai memiliki tiga sasaran (Syahidin, 2006:7). Pertama, pendidikan sebagai alat untuk membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan antara kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik.  Dalam hal ini dapat dipahami bahwa pendidikan dapat menghasilkan manusia-manusia yang berkepribadian utuh.  Kedua, dalam sistem nilai yang dilahirkan juga termasuk nilai-nilai keimanan dan ketakwaaan akan terpancar pada ketundukan manusia untuk melaksanakan ibadah kepada Tuhan-Nya menurut keyakinan masing-masing, berakhlak mulia, serta senantiasa menjaga keharmonisan hubungan dengan sesama makhluk.  Ketiga, dalam alih nilai tersebut juga ditransformasikan nilai-nilai yang mendukung proses industrialisasi dan penerapan teknologi, seperti penghargaan kepada waktu, disiplin, etos kerja, kemandirian, kewirausahaan dan sebagainya.  Seperti diketahui bahwa era industrialisasi yang berorientasi pada penggunaan teknologi memerlukan sikap dan pola fikir yang menunjang ke arah pemanfaatan dan penerapannya secara seimbang.  Oleh sebab itu nilai-nilai IMTAK perlu dijadikan landasan dalam pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
          Dari uraian di atas secara umum dipahami pendidikan agama memberi peran dan fungsi dalam proses pembinaan pribadi yang beriman dan bertakwa, menguasai teknologi dan berbudaya.


A.     Problematika pendidikan Agama
Dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional dengan paradigma baru, posisi pendidikan agama diharapkan berada pada garda terdepan menghasilkan masyarakat yang berkarakter.  Dari segi fungsi pendidikan sebagai pengalihan nilai, maka pendidikan agama dijadikan sebagai mata pelajaran yang memuat kebutuhan penanaman nilai tersebut.  Implikasinya, pendidikan agama secara formal ditegaskan sebagai mata pelajaran wajib di setiap satuan pendidikan yang ada di Indonesia.   
Sekalipun payung hukumnya sudah kuat, dan fungsinya yang signifikan sebagai sarana mentransfer nilai, namun di dalam pelaksanaannya, Pendidikan Agama masih menunjukkan berbagai permasalahan yang kurang menyenangkan. Permasalahan tersebut menjadikan hambatan pencapaian tujuan nilai dan pembentukan karakter.
Permasalahan pendidikan agama (Abdul Madjid:2004: iii),  dikemukakan oleh Dirjen Kelembagaan Agama Islam Kementrian Agama, sebagai berikut:
Pertama, Islam diajarkan lebih pada hafalan.
Pendidikan agama Islam penuh dengan nilai-nilai yang bersifat praktis, yang langsung dapat dilaksanakan untuk kehidupan sehari-hari.  Jika pendidikan agama ditekankan kepada hafalan, maka pendidikan agama hanya sebatas alih ilmu pengetahuan, tapi hampa dari alih nilai.
Kedua, pendidikan agama lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dengan Tuhannya.  Pola hubungan seperti ini menjadikan agama hanya sebagai label formal, bukan nilai bertuhan, atau fungsi tibal balik antara Tuhan dengan hamba.
Ketiga, penalaran dan argumentasi berfikir untuk masalah-masalah keagamaan kurang mendapat perhatian. Persoalan agama semakin berkembang seiring perkembangan peradaban dan budaya manusia.  Pembelajaran dengan menggunakan argumentasi berfikir bermanfaat menjadikan pendidikan agama sebagai alat efektif penyelesai masalah kehidupan manusia.
Keempat, penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat perhatian. Nilai-nilai agama sangat bermanfaat memberi rasa.  Rasa yang dipupuk akan melembaga menjadi karakter.
Kelima, menatap lingkungan untuk kemudian memasukkan nilai Islam sangat kurang mendapat perhatian.  Memahami persoalan kehidupan sehari-hari sangatlah penting,  sebab menjadikan pendidikan agama sebagi pembelajaran kontekstual serta respon dengan perkembangan
Keenam, metode pembelajaran agama, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam kurang mendapatkan penggarapan.  Penggunaan metode terkait dengan karakteristik materi yang dibahas, situasi peserta didik, fasilitas yang tersedia, dan sebagainya. Penggunaan metode yang variatif dan menarik akan mampu menggarap nilai-nilai agama.
Ketujuh, ukuran keberhasilan pendidikan agama masih formalitas.  Hasil pendidikan agama haruslah memuat tiga kompetensi, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.  Ukuran keberhasilan formalitas disimbolkan dengan kemampuan hafalan dan keterampilan verbalistik.
Kedelapan, pendidikan agama belum mampu menjadi landasan kemajuan kesuksesan untuk mata pelajaran lain. Pendidikan yang baik bukan berdiri sendiri, terlepas dari yang lainnya.  Namun pendidikan sukses itu apabila terkait dengan berbagai pendidikan lainnya, sehingga diperoleh hubungan serta keutuhan sebuah bangunan ilmu, tanpa terpilah-pilah, tetapi saling menguatkan.
Kesembilan, pendidikan agama belum dijadikan fondasi pendidikan karakter peserta didik dalam perilaku keseharian. Hal ini didorong oleh pemahaman bahwa pendidikan agama hanya sebuah ilmu kepustakaan verbal dan ritual, serta minimnya penggarapan fungsi dan nilai agama yang mampu membentuk karakter.   

B.      Revitalisasi Pendidikan Agama dan kehidupan Beragama
Untuk menyelesaikan problematika pendidikan agama dibutuhkan revitalisasi pendidikan agama dan kehidupan beragama masyarakat Indonesia yang ada saat ini.  Karena pendidikan agama dalam sejarah Indonesia telah terbukti menjadi sumber nilai pembentukan karakter bangsa. Dimulai sejak masuknya Islam abad ke-13, nilai agama menyatu dengan budaya masyarakat lokal yang ada di Indonesia kala itu, kemudian membentuk sebuah bangsa dan dasar-dasarnya, sampai mempertahankan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang besar hingga sekarang.
Revitalisasi pertama, perubahan paradigma pendidikan agama dalam dunia pendidikan. Perubahan itu seiring dengan terjadinya berbagai perubahan dinamika masyarakat,  yang punya implikasi langsung terhadap perubahan paradigma pendidikan.  Antara lain perubahan formal akademik menjadi pembudayaan nilai-nilai agama, pendidikan yang menekankan normatif menjadi sosiologis, serta pendidikan yang abstrak menjadi pendidikan agama kongkrit, posisi agama dijadikan sebagai solusi dalam kehidupan  (Syahidin, 2006:18).
Revitalisasi kedua, pembaharuan proses pembelajaran.  Dalam hal ini perubahan strategi teaching menjadi learning, paradigma mengajar menjadi paradigma belajar, proses ekspose verbal menjadi layanan professional. Menurut Sukmana (Abdul Majid: 2004,46), ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk pembaharuan proses tersebut. Pertama, berusaha menjadi setiap materi pelajaran sebagai bahan pembicaraan yang menarik; kedua, memberikan contoh tokoh-tokoh ilmuwan yang sukses melalui pengalaman ilmu dan agama; ketiga, melakukan asosiasi (menghubungkan pelajaran baru dengan pelajaran lama); keempat, mengikuti langkah-langkah strategis sesuai dengan prinsip-prinsip didaktis; kelima, membuat nama-nama menarik sebagai jembatan ingatan; keenam, menciptakan suasana kelas yang menyenangkan; ketujuh, menjadikan guru sebagai media dan siswa sebagai model dalam pembelajaran.
Revitalisasi ketiga, melekatnya nilai-nilai agama pada setiap mata disiplin ilmu.  Pendekatan ini pada dasarnya lebih substil, namun mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan nilai-nilai keagamaan pada anak didik (Hasbullah:2001, 182). 
Misalnya ada dimensi nilai yang terkandung dalam MIPA, diantaranya: siswa dapat belajar untuk lebih mencintai lingkungannya, sadar akan keuntungan MIPA bagi kehidupan manusia, dan sadar pula akan implikasi dari penerapan MIPA jika disalahgunakan untuk kepentingan yang destruktif.  Melalui pendidikan MIPA juga, siswa dapat lebih memahami betapa agung dan perkasanya Allah SWT, yang menciptakan alam semesta beserta isinya dalam keadaan yang teratur, sesuai dengan sunnatullah.  Anak didik juga akan menyadari bahwa apa yang terjadi di alam semesta ini pada dasarnya berasal dari Yang Maha Satu, Allah SWT. 
Dengan demikian pendidikan MIPA dapat menjadi wawasan untuk pendidikan nilai-nilai agama, meskipun tentu saja banyak hambatan yang dihadapi, terutama menyangkut kompetensi para pendidiknya, baik menyangkut penguasaan metode, maupun tuntutan seorang guru yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang kokoh, disertai kemauannya untuk mengembangkan nilai-nilai iman dan takwa tersebut kepada para siswanya.
Revitalisasi keempat, melakukan berbagai inovasi pendidikan terkait dengan pendidikan agama dan keagamaan, baik formal maupun informal.  Inovasi pendidikan menjadi sangat penting karena beberapa faktor (Hasbullah:2001, 189): pertama, terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga memberi pengaruh kepada kehidupan sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan bangsa Indonesia. Diakui bahwa sistem pendidikan yang ada dan dilaksanakan saat ini belum mampu mengikuti dan mengendalikan kemajuan-kemajuan tersebut, sehingga pendidikan belum mampu menghasilkan tenaga yang terampil, kreatif dan aktif sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat. Faktor kedua, pertambahan penduduk yang pesat tentunya menuntut adanya perubahan-perubahan sekaligus betambahnya keinginan masyarakat untuk emndapatkan pendidikan yang kian baik, dari segi kuantitas dan kualitas lembaga pendidikan.  Faktor ketiga, meningkatnya animo masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, karena munculnya berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan dewasa ini. Faktor keempat, menurunnya kualitas pendidikan, karena tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut adanya sejumlah perubahan.  Faktor kelima, kurang adanya relevani antara pendidikan dan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. Faktor keenam, belum mekarnya alat organisasi yang efektif, serta belum tumbuhnya suasana yang subur dalam masyarakat untuk mengadakan perubahan-perubahan kontekstual dan masa depan.
Revitalisasi kelima, menumbuhkan nilai-nilai religius lokal. Masyarakat Indonesia sebelum menjadi sebuah negara, telah terbiasa hidup dengan nilai-nilai lokal yang didasari kepada agama.  Hanya saja perkembangan nilai-nilai tersebut mengalami pasang surut seiring dengan berbagai tantangan dan hambatannya.  Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan sebagai modal dasar yang dikebangkan berdasarkan kebutuhan saat ini.
Dalam prakteknya, semenjak digulirkannya otonomi daerah, peluang tumbuhnya nilai-nilai religius lokal menjadi lebih baik.  Sehingga beberapa daerah mulai mengangkat kembali nilai-nilai sebagai basis pembentukan karakter yang lebih membumi.  Perkembangan yang cukup pesat salah satunya terdapat di Sumatera Barat yang terkenal dengan tradisi adat basandikan syara’ syara’ basandikan kitabullah.  Nilai religius lokal yang ada selama ini dipakai dan dikembangkan dalam bentuk perwujudan nilai-nilai baru yang lebih kontekstual.
Pemerintah dan masyarakat di Sumatera Barat melakukan berbagai revitalisai dalam rangka menumbuhkembangkan nilai-nilai lokal mereka.  Nilai-nilai lokal tersebut diantaranya: selama bulan Ramadhan para siswa disekolahkan di mesjid/surau (bagi muslim) dan pemahaman kebaktian di gereja (bagi non muslim), kegiatan lomba asmaul husna dan pemahamannya setiap tahun, didirikannya banyak sekolah kantin kejujuran, pencanangan kampus intelektual dan religius, Peraturan Daerah berpakaian muslim dan muslimah di seluruh kabupaten dan kota, serta visi pendidikan berbasis aqidah sebagai ciri khas pendidikan di kota Bukittinggi.
          Revitalisasi pendidikan agama dan kehidupan beragama hakikatnya merupakan penafsiran ulang (re-interpretasi), pengembangan baru (developmental), penegasan terhadap apa yang sudah ada (legitimasi).  Kuncinya adalah, masyarakat akan selalu mengalami perubahan termasuk nilai-nilai yang dipakai, sedangkan pendidikan adalah alat bantu mengiringi perubahan tersebut dan  revitalisasi menjadi rumus yang dapat menyesuaikan pendidikan dengan perubahan masyarakat.
Bangsa Indonesia memiliki kekayaan nilai yang telah tumbuh di dalam masyarakat selama ini.  Diantara nilai tersebut diperoleh melalui pendidikan agama dan kehidupan beragama dalam masyarakat. Potret buram masyarakat saat ini menunjukkan gambaran tidak suksesnya pendidikan agama dan kehidupan beragama pada masyarakat Indonesia.  Untuk itu diperlukan revitalisasi sebagai langkah menjadikan pendidikan agama bernilai dalam upaya memperkuat karakter anak bangsa Indonesia.


Sumber : Makalah oleh Syahrull Ismet ‘penguatan karakter melalui revitalisasi pendidikan agama’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar