Tanggal 2 Mei,
Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Hal ini untuk mengenang Ki
Hajar Dewantara yang dikenal gigih untuk urusan pendidikan saat masih aktif
dulu.
Ki Hajar Dewantara pernah melakukan kritik terhadap pemerintah saat itu yang hanya memperbolehkan orang kaya atau keturunan Belanda saja untuk mengenyam pendidikan.
Kala itu, pendidikan sangat jauh dari kata merata. orang-orang pribumi yang tergolong ekonomi lemah tidak diizinkan untuk bersekolah. Ki Hajar Dewantara berinisiatif membuat lembaga pendidikan Taman Siswa untuk merangkul kaum-kaum yang tidak dapat mengenyam bangku pendidikan. Gigihnya Ki Hajar Dewantara membuatnya diangkat sebagai Menteri Pendidikan pasca merdeka. Bahkan dia dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.
Lantas, apakah saat ini pendidikan di Indonesia sudah layak?
Ini yang harus kita cermati. Setidaknya ada beberapa faktor yang membuat mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Tidak perlu dulu melihat bagaimana kualitas pendidikan atau hasilnya. Lihat dulu sistemnya. Di pedesaan misalnya, berapa anak yang sekolah? Jangan salahkan anaknya. Lihat berapa guru yang memadai? Apakah jumlah guru sudah cukup? Bahkan mutu guru di daerah pedesaan dinilai masih kurang.
Guru bisa dibilang sebagai ujung tombak pendidikan. Saat ini masih banyak guru yang mendapatkan pelatihan aplikatif dan berkualitas.
Belum lagi tentang infrastruktur pendidikan. Berapa banyak sekolah yang kadar kelayakannya di bawah standar? Akses menuju ke sekolah juga harus dipertimbangkan. Tidak sedikit yang harus melewati sungai, jembatan reyot, bahkan menjelajah hutan. Hanya untuk bertemu dengan yang namanya pendidikan.
Misalnya semua itu sudah tercukupi seperti di kota-kota besar, namun apakah semua itu sudah layak? Ada kritikan dari berbagai pihak agar sekolah tidak hanya mengajarkan teori melainkan praktik. Ini akan menambah bekal ilmu para siswa untuk menyongsong kehidupan di masa depan.
Itu belum selesai, masih harus ditambah lagi dengan sarana pendidikan. Ambil saja contoh kurikulum nasional yang diterapkan di seluruh pelosok negeri. Apakah semua bisa mengikuti? Di daerah terpencil, baik guru maupun murid kesulitan mengaplikasikan sistem pendidikan seperti ini.
Jika terus seperti ini, apa bedanya dengan zaman penjajahan. Mutu pendidikan yang baik akan cenderung berada di pusat saja. Sama saja dengan orang yang kaya dapat sekolah tinggi. orang yang miskin malah sebaliknya.
Faktor-faktor yang menghambat mutu pendidikan di Indonesia sudah selayaknya segera diperbaiki. Tidak hanya merupakan tanggung jawab pemerintah. Namun semua elemen masyarakat harus ikut serta membangun sistem pendidikan yang baik untuk memajukan bangsa. Perlunya orang tua dalam mengajari anak agar sadar pendidikan dirasa akan berperan penting di sini. Bahkan cara belajar pun juga harus diubah. Dari yang mengedepankan teori menjadi memperbanyak praktik. Ini akan semakin mudah bagi siswa untuk ikut memajukan pendidikan nasional.
Ki Hajar Dewantara pernah melakukan kritik terhadap pemerintah saat itu yang hanya memperbolehkan orang kaya atau keturunan Belanda saja untuk mengenyam pendidikan.
Kala itu, pendidikan sangat jauh dari kata merata. orang-orang pribumi yang tergolong ekonomi lemah tidak diizinkan untuk bersekolah. Ki Hajar Dewantara berinisiatif membuat lembaga pendidikan Taman Siswa untuk merangkul kaum-kaum yang tidak dapat mengenyam bangku pendidikan. Gigihnya Ki Hajar Dewantara membuatnya diangkat sebagai Menteri Pendidikan pasca merdeka. Bahkan dia dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.
Lantas, apakah saat ini pendidikan di Indonesia sudah layak?
Ini yang harus kita cermati. Setidaknya ada beberapa faktor yang membuat mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Tidak perlu dulu melihat bagaimana kualitas pendidikan atau hasilnya. Lihat dulu sistemnya. Di pedesaan misalnya, berapa anak yang sekolah? Jangan salahkan anaknya. Lihat berapa guru yang memadai? Apakah jumlah guru sudah cukup? Bahkan mutu guru di daerah pedesaan dinilai masih kurang.
Guru bisa dibilang sebagai ujung tombak pendidikan. Saat ini masih banyak guru yang mendapatkan pelatihan aplikatif dan berkualitas.
Belum lagi tentang infrastruktur pendidikan. Berapa banyak sekolah yang kadar kelayakannya di bawah standar? Akses menuju ke sekolah juga harus dipertimbangkan. Tidak sedikit yang harus melewati sungai, jembatan reyot, bahkan menjelajah hutan. Hanya untuk bertemu dengan yang namanya pendidikan.
Misalnya semua itu sudah tercukupi seperti di kota-kota besar, namun apakah semua itu sudah layak? Ada kritikan dari berbagai pihak agar sekolah tidak hanya mengajarkan teori melainkan praktik. Ini akan menambah bekal ilmu para siswa untuk menyongsong kehidupan di masa depan.
Itu belum selesai, masih harus ditambah lagi dengan sarana pendidikan. Ambil saja contoh kurikulum nasional yang diterapkan di seluruh pelosok negeri. Apakah semua bisa mengikuti? Di daerah terpencil, baik guru maupun murid kesulitan mengaplikasikan sistem pendidikan seperti ini.
Jika terus seperti ini, apa bedanya dengan zaman penjajahan. Mutu pendidikan yang baik akan cenderung berada di pusat saja. Sama saja dengan orang yang kaya dapat sekolah tinggi. orang yang miskin malah sebaliknya.
Faktor-faktor yang menghambat mutu pendidikan di Indonesia sudah selayaknya segera diperbaiki. Tidak hanya merupakan tanggung jawab pemerintah. Namun semua elemen masyarakat harus ikut serta membangun sistem pendidikan yang baik untuk memajukan bangsa. Perlunya orang tua dalam mengajari anak agar sadar pendidikan dirasa akan berperan penting di sini. Bahkan cara belajar pun juga harus diubah. Dari yang mengedepankan teori menjadi memperbanyak praktik. Ini akan semakin mudah bagi siswa untuk ikut memajukan pendidikan nasional.
Dari cerita
kecerita, pendidikan merupakan aktifitas yang tidak ada habisnya, dari dulu
hingga sekarang, bahkan sampai yang akan datang pendidikan tetap dibutuhkan.
Dan cerita pendidikan secara lisan maupun tulisan tetap menarik. Cerita anak
generasi tahun 70an. Ketika pertama kali masuk sekolah. Tahun ajaran baru masih
dimulai pada bulan januari. Ragam sekolah tidak terlalu banyak, hanya ada SD
Negeri, SD Impres, madrasah yang kurikulumnya pendidikan agama, dan Sekolah
swasta yang tidak banyak jumlahnya. Dan pada saat itu, Sekolah Negeri yang
menjadi incaran. Karena pertimbangan dari segi biaya tidaklah begitu mahal,
kualitas guru dan sarana pendidikannya lebih baik. Siswa pada saat itu tidak
semua mendapatkan pendidikan di TK. Karena itu tidak semua siswa kelas 1 bisa
baca, tulis dan berhitung. Guru SD-lah yang mengenalkan abjad dan angka pada
mereka. Anak siapa saja bisa masuk SD Negeri. Latar belakang sosial ekonomi
sangat beragam, juga tingkat pendidikan Orang tuanya. Oleh karena itu, pola
asuh yang dikembangkan dikeluarga masing-masing siswa tentu berbeda. Di
sekolah, Gurulah yang menyeragamkan aturan dan disiplin. Jika datang terlambat
atau tidak mengerjakan PRakan dihukum. Siswa yang nakal biang ribut di kelas,
suka mengganggu di kelas, akan dihukum berdiri dengan satu kaki dan tangan di
telinga, duduk di bawah meja hingga pulang, bahkan bisa jadi baru boleh pulang
belakangan. Setiap hari senin, Guru Agama akan berkeliling memeriksa kerapian
dan kebersihan penampilan. Jika ada siswa berambut gondrong, acak-acakan atau siswa
yang kukunya panjang apalagi kotor, guru akan mengambil gunting kemudian
memotong rambut dan kuku mereka. Mengapa ini menjadi tugas Guru Agama ? karena
kebersihan sebagian dari iman dan itu merupakan aplikasinya dalam kehidupan
sehari-hari. Tidak ada Orang tua murid yang tersinggung, marah apa lagi sampai
melabrak Guru, hanya karena rambut atau kuku yang dipotong. Orang tua dengan “
legowo nrimo” karena bagi mereka di sekolah adalah ruang dimana otoritas adalah
Guru. Maka segala aturan dan standar prilaku diserahkan pada Guru untuk
menggariskan dan menegakknnya. Dahulu , jika ingin anaknya bias sholat dan
mengaji, biasanya kalau sore Orang tua menyuruh anaknya pergi mengaji. Bukan di
TPA yang formal dan terstruktur seperti sekarang melainkan pada Guru ngaji
informal yang dibayar seikhlasnya. Tempat mengajinya di musholla/langgar/ surau
atau di rumah Guru ngaji. Dan Guru ngaji pada saat itu dikenal lebih galak
disbanding dengan Guru di sekolah. Sambil memegang sebatang rotan yang
digunakan untuk menunjuk rangkaian huruf hijaiyah dipapan tulis. Dan pada malam
jumat dibiasakan membacaulang yang telah diajarkan umtuk mempelancar biasanya
disebut nderes. Dari jaman ke jaman sudah pasti ada siswa siswi yang nakal,
bandel, biang keladi semua keributan, semua itu wajar namanya juga anak dan
remaja. Ada yang sifatnya cenderung melawan, suka membatah, tidak mau menurut,
ada juga yang diam sekali. Semakin menginjak remaja, sikap perlawanan itu
semakin menjadi, dan lagi-lagi tugas gurulah yang mengatasinya. Setiap Guru
mempunyai cara-cara untuk mengatasi keunikan siswanya. Ada dengan cara halus
dan juga kasar. Tapi tampaknya tidak ada Orang tua yang menggugat Guru, Orang
tua pada saat itu sadar konsekwensi logis dari mereka, menyerahkan sepenuhnya
pendidikan anak-anak mereka kepada Guru. Anak pada saat itu tidak mendapatkan
toleransi dan perlindungan bahkan dari orang tuanya sendiri ketika mereka
melakukan kekerasan atau kesalahan. Lalu bagaimana dengan sekarang ? Guru
nampaknya berada pada posisi sulit, bisa jadi serbasalah. Mereka tidak bisa
lagi dengan mudah menjatuhkan hukuman pada siswanya. Bisa-bisa siswa yang
dihukum mengadu pada Orang tuanya dan guru yang ganti diadukan kepolisi. Orang
tua tahunya anak mereka baik-baik, Guru tidak mempunyai hak menghukumnya. Guru dan
pihak sekolah tidak lagi bebas menegakkan hukum pada siswanya. Meski sejak awal
mereka tidak menunjukkan penyesalan tidak menganggap apa yang mereka lakukan
bukan salah saja tapi juga terlarang, Orang tua turun tangan membela, bila
perlu sewakan pengacara bawakan LSM yang atas nama hak anak, mencarikan
dalih-dalih bahwa mereka tidak boleh dihukum. Lalu mengapa Orang tua jaman
sekarang lebih permissive pada prilaku tidak terpuji anaknya ? apakah mungkin
ini juga tindakan apologize karena selama ini Orang tua kerap lalai memberikan
perhatian dan waktu pada anaknya. Berapa banyak Orang tua yang masih
menyempatkan diri melepas anaknya berangkat sekolah sampai di pintu depan
rumah, membiasakan anaknya mencium tangan Orang tua, lalu menepuk pundak
anaknya atau mengelus kepala anaknya dan memberikan pesan kepada anaknya.
Kalimat pesan yang terdengar simpel tetapi jika diucapkan setiap hari, akan
tertanam pesan dibenak si anak, tentang pesan dan harapan Orang tuanya. Banyak
Orang tua yang tidak terlalu mengenal watak dan karakter asli anaknya. Tidak
cukup hanya perhatian daan kasih sayang dari seorang Guru, perhatian dan kasih
sayang dari Orang tua yang justru sangat dibutuhkan. Inilah problem didunia
pendidikan jaman sekarang. Disatu sisi Orang tua seolah-olah menyerahkan
sepenuhnya pendidikan anak mereka kepada Guru-guru disekolah, tetapi disisi
lain ketika ada masalah, anaknya barulah Orang tua tidak mau Guru mengambil
tindakan. Orang tuaturun tangan ketika sudah ada masalah itupun bukan untuk
menegakkan disiplin dan hukuman sesuai aturan tetapi justru untuk
menginterversi disiplin dan hukum, mengupayakan privilege bagi anak mereka.
Akibatnya, sama sekali tidak ada pembelajaran pada diri siswa, tidak belajar
dari keselahan. Boro-boro ada efek jera, bisa jadi malah si anak berpikir “jika
saya berbuat salah, Guru tidak akan berani memberi hukuman ha,,,,,ha,,, ha,,,”
hal ini pun mengakibatkan menjadi cuek dan masa bodoh. Kalau benar orang tua
menyerahkan pendidikan anaknya pada guru dan pihak sekolah, maka sebaiknya orang
tua harus rela jika guru mengakkan aturan pada siswa tampa pandang bulu. Orang
tua harus ikhlas jika anaknya menerima hukuman akibat perbuatannya, termasuk
jika tidak disiplin dan tidak sopan pada guru atau orang yang lebih tua
darinya. Jamgam ajari anak menginjak-injak hukum, kekacauan itu disebabkan
lemahnya penegakkan hukum.
sumber : www.kompasiana.com/mesinah/perbedaan-pendidikan-dulu-dengan-sekarang dan Merdeka.com
sumber : www.kompasiana.com/mesinah/perbedaan-pendidikan-dulu-dengan-sekarang dan Merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar