Berfilsafat
itu penting, dengan berfilsafat orang akan mempunyai pedoman untuk bersikap dan
bertindak secara sadar dalam menghadapi gejala-gejala yang timbul dalam alam
dan masyarakat, sehingga tidak mudah tejebak dalam timbul-tenggelamnya
gejala-gejala yang terjadi. Untuk belajar berfilsafat orang harus mempelajari
filsafat. Cara belajar filsafat adalah menangkap pengertiannya secara ilmu lalu
memadukan ajaran dan pengertiannya dalam praktek. Kemudian pengalaman dari
praktek diambil dan disimpulkan kembali secara ilmu. Seorang filsuf haruslah
menempuh jalur akademis, atau paling tidak diakui dalam masyarakat
berkontribusi dalam bidang filsafat dengan teori yang ia ciptakan meski tidak
bergelar akademis sekalipun seperti halnya filsuf jaman dahulu. Sebaliknya,
orang awam seperti saya hanya pecinta kebijaksanaan. Saya mempraktekkan teori
yang sudah ditelurkan para ahli dalam ruang yang lebih praktis. Saya praktisi
filsafat. Kita semua praktis! seharusnya. Karena kata seorang filsuf,
"Hidup yang baik adalah hidup yang terkoreksi." Dalam perkembangan
sejarah, istilah “filsafat”, “falsafah”, atau “filosofi” ternyata dipakai
dengan arti yang beraneka ragam. Bagi orang-orang Yunani Kuno, filsafat secara
harfiah berarti ”cinta kepada kebijaksanaan”, namun pada masa sekarang istilah
ini digunakan dalam banyak konteks. “Mempunyai falsafah” bisa diartikan
mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup, ataupun nilai-nilai
tertentu. Dalam penggunaan yang lain, kadang kala filsafat secara keliru
dihubungkan dengan okultisme seperti astrologi dan klenik. Orang-orang bisnis
dan politik tidak jarang menggunakan istilah “kebijakan ekonomi” dan “filsafat
ekonomi” secara rancu. Bahkan, banyak orang menganggap bahwa suatu filsafat
tidak lebih dari keyakinan atau pendapat pribadi belaka. Banyak juga yang
mengasosiasiakan filsafat dengan studi humaniora saja, tanpa menyadari bahwa di
dalam matematika dan ilmu pengetahuan lainnya pun terkandung permasalahan
filsafat. Namun, permasalahan filsafat umumnya tidak dapat dipecahkan oleh
sains dan logika awam (common sense) saja. Fakta-fakta ilmiah dan
pengalaman-pengalaman pribadi sering memainkan peranan penting dalam
penyelidikan filsafat. Belajar dari metodologi filsafat Metodologi mempelajari
filsafat terbagi menjadi 3 bagian besar yakni ontologi, epistimologi dan aksiologi. Metodologi ini juga menjadi
landasan terbentuknya kerangka dasar ideologi, apakah ketiga hal ini harus
secara sempurnah menjadi syarat mutlak kerangka dasar filsafat? Bagaimana jika
hanya salah satunya saja yang ada? Atau mungkin hanya dua yang ada?. Untuk itu
mari kita lihat pembahasan singkat ketiga konsep di atas.
1. Ontologi
Ontologi adalah cabang metafisika
yang membicarakan watak realitas tertinggi atau wujud. (Maulana dkk, 2011).
Ontologi sebenarnya berbicara terkait “hakikat” dari suatu wujud, untuk itu
pertanyaan yang identik dengan ontologi adalah “apa?”. Apa hakikat dari sesuatu
yang merujuk pada wujud esensial dari segala sesuatu? Apakah hakikat yang
dikaji? (Suriasumantri, 2001). Jika konsep ontologi tidak ada maka dengan sendirinya
wujud juga tidak ada, jika wujud tidak ada maka bagaimanakah kita membahas
segala sesuatu yang tidak memiliki wujud? Bagaimana caranya membahas segala
sesuatu yang tidak memiliki hakikat? Orang pasti kebingungan untuk membahas
sesuatu yang tidak punya realitas. Dengan pentingnya konsep ontologi maka
menjadi syarat mutlak kerangka dasar filsafat. Istilah hakikat wujud berarti
wujud sebagai hakikat sebelum dibagi menjadi subjektif (konsep, ide) dan
objektif (realitas). “hakikat wujud” mengacu pada arti awal keberadaan secara
mutlak dan umum, sehingga kontradiktif dari al-wujud (keberadaan/eksistensi)
adalah al-adam (ketiadaan).
2. Epistimologi
Epistimologi sebenarnya adalah
teori pengetahuan yang disimbolkan dalam kalimat tanya “Bagaimana?”. Epistimologi
dapat dikatakan sebagai sambungan dari ontologi yakni bagaimana mempelajari
hakikat dalam konsep ontologis? Bagaimana memperoleh pengetahuan yang benar?
Bagaimana pengetahuan menjelaskan pengetahuan? Bagaimana pengetahuan
memunculkan pengetahuan baru? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin
ditangkap manusia?. Dengan demikian konsep epistimologi membahas juga tentang
alat memperoleh pengetahuan misalnya indera (mata, telinga, hidung, lidah,
kulit), rasio (akal/logika), hati secara intuitif, alam/objek, serta teks
skriptualis, bahkan mungkin juga ada alat/sumber pengetahuan yang lain sehingga
tentu ada pengkajian lanjutan terkait Konsep epistimologi senantiasa
menggunakan metode ilimiah dan struktur pengetahuan ilimiah sehingga kita dapat
membedakan jelas antara pengetahuan dan ilmu. Apakah itu pengetahuan dan
bagaimana perbedaannya dengan ilmu? Ada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh
Ayatullah Murtadha Muthahhari yakni mungkinkah manusia memiliki pengetahuan?
Mungkinkah kita memahami hakikat manusia? Serta penjelasan terkait kaum
sophisme yang menyajikan argumen mengenai ketidakmungkinan manusia memiliki
pengetahuan karena mengetahui adalah sesuatu yang mustahil akibat dari
ketidakpercayaannya terhadap alat dan instrumen pengetahuan yang digunakan yakni
indera dan rasio. (Murthada Muthahhari, 2010).
3. Aksiologi
Aksiologi adalah penyelidikan
terhadap nilai/martabat dan tindakan manusia (Cabang dari filsafat) sedangkan
aksiolog adalah pakar/ahli aksiologi. (Maulana dkk, 2011). Aksiologi merupakan
konsep yang mengatur tentang nilai-nilai (value’s) atau manfaat dari
ilmu/filsafat yang diidentikan dengan kalimat interogasi “apa manfaatnya? Atau
apa nilai-nilai yang terkandung?”. Dengan demikian maka ada hubungan dengan
teori kebenaran pragmatik bahwa ilmu dapat benar ketika memiliki manfaat bagi
pengguna ilmu atau masyarakat secara umum dimana pun, kapan pun dan dalam
keadaan yang bagaimana pun. Belajar Filsafat atau Berfilsafat?
Dalam
mempelajari filsafat, sebenarnya ada dua model yang mungkin dapat kita pakai
sebagai pilihan. Pertama, mempelajari filsafat secara teoretis, dan yang kedua,
mempelajari filsafat secara praktis. Pada pilihan yang pertama, kita dihadapkan
pada keharusan untuk belajar filsafat secara teknis dari buku-buku, seminar,
kursus, ataupun melalui perkuliahan di pendidikan tinggi. Apa yang kita
pelajari di sini adalah "pikiran orang lain tentang filsafat". Ini
sama artinya kita dituntut untuk memahami orang lain dalam kerangka sejarah berpikir
umat manusia. Dalam model yang kedua, ketika kita mempelajari filsafat secara
praktis, maka kita akan belajar filsafat melalui hal-hal yang sederhana. Jalan
ini sebenarnya sudah dipraktekkan jauh-jauh hari sebelum abad masehi oleh
Thales dari Miletos, Yunani. Beliau mempelajari alam sekitarnya untuk
mendapatkan kesimpulan bahwa hakikat segala sesuatu terletak pada air
sebagaizat yang paling mendasar. Jadi, melalui pemahaman Thales akan dunia
sekitarnya, filsafat dipraktekkan sebagai jalan untuk memahami sesuatu. Pada
konteks ini, sesuatu yang ingin dipahami Thales adalah dunia. Sehubungan dengan
dua model belajar filsafat ini, maka kita dapat saja memilih salah satunya.
Bila jalan pertama yang ditempuh, pada tingkatan yang lebih lanjut, Anda akan
terarah menjadi seorang "ahli filsafat". Sedangkan bila jalan kedua
yang ditempuh, Anda akan terarah menjadi "filsuf". Lalu, apa bedanya
ahli filsafat dengan filsuf? Ahli filsafat sebenarnya lebih banyak menguasai
teori yang diungkapkan oleh para filsuf tentang hakikat sesuatu. Dia ini
bekerja untuk menguji benar tidaknya teori-teori filsafat secara akademis. Bila
seorang ahli filsafat mampu mengkritik dan membangun suatu pandangan baru dari
teori filsafat yang diujinya, maka ahli filsafat statusnya bergeser menjadi
filsuf. Khusus untuk filsuf, dia ini sebenarnya adalah orang yang mempraktekkan
filsafat baik secara langsung ataupun tidak langsung, hingga dia mendapatkan
kesimpulan atas hakikat sesuatu hal yang berbeda dari pandangan kebanyakan
orang umumnya. Pandangannya atas sesuatu hal biasanya sangat khas dan merupakan
pandangan yang baru untuk sesuatu halnya itu. Filsuf tidak mesti berasal dari
ahli filsafat karena mungkin saja seseorang punya suatu teori filsafat tanpa
harus belajar filsafat secara teknis. Namun, seseorang akan bergelar sebagai
filsuf bila ia diakui telah menelurkan teori filsafat yang dapat diuji secara
akademis. Dengan demikian, belajar filsafat dapat memiliki beberapa maksud. Ada
maksud hanya ingin mengetahui filsafat itu seperti apa, ada yang belajar
filsafat karena tertarik dengan apa yang dipelajarinya, ada yang karena ingin
menjadi seorang ahli filsafat atau filsuf, atau belajar filsafat karena suatu
kebutuhan.
(Dari berbagai sumber.) Blog:
http://cutintanarifah.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar