Kamis, 01 Desember 2016

Belajar Berfilsafat



Berfilsafat itu penting, dengan berfilsafat orang akan mempunyai pedoman untuk bersikap dan bertindak secara sadar dalam menghadapi gejala-gejala yang timbul dalam alam dan masyarakat, sehingga tidak mudah tejebak dalam timbul-tenggelamnya gejala-gejala yang terjadi. Untuk belajar berfilsafat orang harus mempelajari filsafat. Cara belajar filsafat adalah menangkap pengertiannya secara ilmu lalu memadukan ajaran dan pengertiannya dalam praktek. Kemudian pengalaman dari praktek diambil dan disimpulkan kembali secara ilmu. Seorang filsuf haruslah menempuh jalur akademis, atau paling tidak diakui dalam masyarakat berkontribusi dalam bidang filsafat dengan teori yang ia ciptakan meski tidak bergelar akademis sekalipun seperti halnya filsuf jaman dahulu. Sebaliknya, orang awam seperti saya hanya pecinta kebijaksanaan. Saya mempraktekkan teori yang sudah ditelurkan para ahli dalam ruang yang lebih praktis. Saya praktisi filsafat. Kita semua praktis! seharusnya. Karena kata seorang filsuf, "Hidup yang baik adalah hidup yang terkoreksi." Dalam perkembangan sejarah, istilah “filsafat”, “falsafah”, atau “filosofi” ternyata dipakai dengan arti yang beraneka ragam. Bagi orang-orang Yunani Kuno, filsafat secara harfiah berarti ”cinta kepada kebijaksanaan”, namun pada masa sekarang istilah ini digunakan dalam banyak konteks. “Mempunyai falsafah” bisa diartikan mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup, ataupun nilai-nilai tertentu. Dalam penggunaan yang lain, kadang kala filsafat secara keliru dihubungkan dengan okultisme seperti astrologi dan klenik. Orang-orang bisnis dan politik tidak jarang menggunakan istilah “kebijakan ekonomi” dan “filsafat ekonomi” secara rancu. Bahkan, banyak orang menganggap bahwa suatu filsafat tidak lebih dari keyakinan atau pendapat pribadi belaka. Banyak juga yang mengasosiasiakan filsafat dengan studi humaniora saja, tanpa menyadari bahwa di dalam matematika dan ilmu pengetahuan lainnya pun terkandung permasalahan filsafat. Namun, permasalahan filsafat umumnya tidak dapat dipecahkan oleh sains dan logika awam (common sense) saja. Fakta-fakta ilmiah dan pengalaman-pengalaman pribadi sering memainkan peranan penting dalam penyelidikan filsafat. Belajar dari metodologi filsafat Metodologi mempelajari filsafat terbagi menjadi 3 bagian besar yakni ontologi, epistimologi dan aksiologi. Metodologi ini juga menjadi landasan terbentuknya kerangka dasar ideologi, apakah ketiga hal ini harus secara sempurnah menjadi syarat mutlak kerangka dasar filsafat? Bagaimana jika hanya salah satunya saja yang ada? Atau mungkin hanya dua yang ada?. Untuk itu mari kita lihat pembahasan singkat ketiga konsep di atas.
1.      Ontologi
 Ontologi adalah cabang metafisika yang membicarakan watak realitas tertinggi atau wujud. (Maulana dkk, 2011). Ontologi sebenarnya berbicara terkait “hakikat” dari suatu wujud, untuk itu pertanyaan yang identik dengan ontologi adalah “apa?”. Apa hakikat dari sesuatu yang merujuk pada wujud esensial dari segala sesuatu? Apakah hakikat yang dikaji? (Suriasumantri, 2001). Jika konsep ontologi tidak ada maka dengan sendirinya wujud juga tidak ada, jika wujud tidak ada maka bagaimanakah kita membahas segala sesuatu yang tidak memiliki wujud? Bagaimana caranya membahas segala sesuatu yang tidak memiliki hakikat? Orang pasti kebingungan untuk membahas sesuatu yang tidak punya realitas. Dengan pentingnya konsep ontologi maka menjadi syarat mutlak kerangka dasar filsafat. Istilah hakikat wujud berarti wujud sebagai hakikat sebelum dibagi menjadi subjektif (konsep, ide) dan objektif (realitas). “hakikat wujud” mengacu pada arti awal keberadaan secara mutlak dan umum, sehingga kontradiktif dari al-wujud (keberadaan/eksistensi) adalah al-adam (ketiadaan).
2.      Epistimologi
   Epistimologi sebenarnya adalah teori pengetahuan yang disimbolkan dalam kalimat tanya “Bagaimana?”. Epistimologi dapat dikatakan sebagai sambungan dari ontologi yakni bagaimana mempelajari hakikat dalam konsep ontologis? Bagaimana memperoleh pengetahuan yang benar? Bagaimana pengetahuan menjelaskan pengetahuan? Bagaimana pengetahuan memunculkan pengetahuan baru? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin ditangkap manusia?. Dengan demikian konsep epistimologi membahas juga tentang alat memperoleh pengetahuan misalnya indera (mata, telinga, hidung, lidah, kulit), rasio (akal/logika), hati secara intuitif, alam/objek, serta teks skriptualis, bahkan mungkin juga ada alat/sumber pengetahuan yang lain sehingga tentu ada pengkajian lanjutan terkait Konsep epistimologi senantiasa menggunakan metode ilimiah dan struktur pengetahuan ilimiah sehingga kita dapat membedakan jelas antara pengetahuan dan ilmu. Apakah itu pengetahuan dan bagaimana perbedaannya dengan ilmu? Ada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Ayatullah Murtadha Muthahhari yakni mungkinkah manusia memiliki pengetahuan? Mungkinkah kita memahami hakikat manusia? Serta penjelasan terkait kaum sophisme yang menyajikan argumen mengenai ketidakmungkinan manusia memiliki pengetahuan karena mengetahui adalah sesuatu yang mustahil akibat dari ketidakpercayaannya terhadap alat dan instrumen pengetahuan yang digunakan yakni indera dan rasio. (Murthada Muthahhari, 2010).
3.      Aksiologi
 Aksiologi adalah penyelidikan terhadap nilai/martabat dan tindakan manusia (Cabang dari filsafat) sedangkan aksiolog adalah pakar/ahli aksiologi. (Maulana dkk, 2011). Aksiologi merupakan konsep yang mengatur tentang nilai-nilai (value’s) atau manfaat dari ilmu/filsafat yang diidentikan dengan kalimat interogasi “apa manfaatnya? Atau apa nilai-nilai yang terkandung?”. Dengan demikian maka ada hubungan dengan teori kebenaran pragmatik bahwa ilmu dapat benar ketika memiliki manfaat bagi pengguna ilmu atau masyarakat secara umum dimana pun, kapan pun dan dalam keadaan yang bagaimana pun. Belajar Filsafat atau Berfilsafat?
Dalam mempelajari filsafat, sebenarnya ada dua model yang mungkin dapat kita pakai sebagai pilihan. Pertama, mempelajari filsafat secara teoretis, dan yang kedua, mempelajari filsafat secara praktis. Pada pilihan yang pertama, kita dihadapkan pada keharusan untuk belajar filsafat secara teknis dari buku-buku, seminar, kursus, ataupun melalui perkuliahan di pendidikan tinggi. Apa yang kita pelajari di sini adalah "pikiran orang lain tentang filsafat". Ini sama artinya kita dituntut untuk memahami orang lain dalam kerangka sejarah berpikir umat manusia. Dalam model yang kedua, ketika kita mempelajari filsafat secara praktis, maka kita akan belajar filsafat melalui hal-hal yang sederhana. Jalan ini sebenarnya sudah dipraktekkan jauh-jauh hari sebelum abad masehi oleh Thales dari Miletos, Yunani. Beliau mempelajari alam sekitarnya untuk mendapatkan kesimpulan bahwa hakikat segala sesuatu terletak pada air sebagaizat yang paling mendasar. Jadi, melalui pemahaman Thales akan dunia sekitarnya, filsafat dipraktekkan sebagai jalan untuk memahami sesuatu. Pada konteks ini, sesuatu yang ingin dipahami Thales adalah dunia. Sehubungan dengan dua model belajar filsafat ini, maka kita dapat saja memilih salah satunya. Bila jalan pertama yang ditempuh, pada tingkatan yang lebih lanjut, Anda akan terarah menjadi seorang "ahli filsafat". Sedangkan bila jalan kedua yang ditempuh, Anda akan terarah menjadi "filsuf". Lalu, apa bedanya ahli filsafat dengan filsuf? Ahli filsafat sebenarnya lebih banyak menguasai teori yang diungkapkan oleh para filsuf tentang hakikat sesuatu. Dia ini bekerja untuk menguji benar tidaknya teori-teori filsafat secara akademis. Bila seorang ahli filsafat mampu mengkritik dan membangun suatu pandangan baru dari teori filsafat yang diujinya, maka ahli filsafat statusnya bergeser menjadi filsuf. Khusus untuk filsuf, dia ini sebenarnya adalah orang yang mempraktekkan filsafat baik secara langsung ataupun tidak langsung, hingga dia mendapatkan kesimpulan atas hakikat sesuatu hal yang berbeda dari pandangan kebanyakan orang umumnya. Pandangannya atas sesuatu hal biasanya sangat khas dan merupakan pandangan yang baru untuk sesuatu halnya itu. Filsuf tidak mesti berasal dari ahli filsafat karena mungkin saja seseorang punya suatu teori filsafat tanpa harus belajar filsafat secara teknis. Namun, seseorang akan bergelar sebagai filsuf bila ia diakui telah menelurkan teori filsafat yang dapat diuji secara akademis. Dengan demikian, belajar filsafat dapat memiliki beberapa maksud. Ada maksud hanya ingin mengetahui filsafat itu seperti apa, ada yang belajar filsafat karena tertarik dengan apa yang dipelajarinya, ada yang karena ingin menjadi seorang ahli filsafat atau filsuf, atau belajar filsafat karena suatu kebutuhan.
 (Dari berbagai sumber.) Blog: http://cutintanarifah.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar