Di tengah berbagai macam kebijakan pendidikan yang
memangkas kreatifitas dan profesionalitas guru, ada dua cara yang serentak
mesti dilakukan oleh guru agar tetap bisa bertahan dalam kinerja
profesionalnya. Pertama, bersikap kritis atas berbagai macam kebiijakan
pendidikan pemerintah yang menindas otonomi dan profesionalitasnya. Kedua,
bersikap kritis terhadap diri sendiri agar tidak semakin diperalat sebagai
kepanjangan tangan birokrat, melainkan menemukan kembali kebebasan dan
otonominya sebagai pelaku perubahan (agent of change). Ketika berbagai kritik
atas kebijakan pendidikan telah mental sebab mental politik otoritarian itu
lebih berkuasa dan adu kekuatan itu semakin meminggirkan guru, ada satu daya
kekuatan lain yang tersisa yang bisa menjadi daya tawar kekuatan guru, yaitu,
meraih kembali kebebasan dan menghayati identitas diri sebagai pelaku
perubahan.
Masyarakat berubah, identitas guru juga berubah.
Pepatah latin mengatakan, tempora mutantur et nos mutamur in illis (waktu
berubah dan kitapun berubah karenanya). Ungkapan bijak ini berlaku bagi
perjalanan hidup setiap individu, terlebih lagi bagi mereka yang menghayati
panggilannya sebagai guru yang sesungguhnya adalah pelaku perubahan. Memiliki
visi sebagai pelaku perubahan merupakan conditio sine qua non bagi pembaharuan
dalam dunia pendidikan. Lebih dari itu, guru bisa berperanan lebih aktif dalam
membangun tatanan baru masyarakat yang lebih adil dan manusiawi melalui kinerja
pendidikan mereka.
Guru adalah pelaku perubahan. Itulah sebenarnya hakekat
terdalam keberadaan seorang guru. Dengan kegiatannya mengajar, ia membentuk
identitas keguruannya. Melalui identitas inilah ia mengukuhkan dirinya sebagai
pelaku perubahan. Kegiatan mengajar yang dilakukan guru di kelas akan
memberikan perubahan dalam diri siswanya yang akan berguna bagi hidupnya
mengatasi batas-batas kelas. Sebagai pelaku perubahan, guru menngubah siswa
menjadi lebih baik, lebih pandai, lebih memiliki ketrampilan yang berguna bagi
pengembangan profesi mereka dalam masyarakat. Guru membuat siswa memahami
persoalan dengan lebih jernih sehingga mampu membuat keputusan dan bertindak
secara tepat dan bertanggungjawab dalam hidup mereka. Guru yang baik membuat
siswa siap terjun secara aktif dalam masyarakat sehingga mampu membangun dan
menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik dari yang sekarang ini mereka
alami.
Berbagai Tarikan Kepentingan
Tantangan pertama yang mesti dihadapi guru dalam
mengukuhkan identitas dirinya sebagai pelaku perubahan adalah menyadari
berbagai macam tarikan kepentingan kekuasaan yang menggelayuti profesi mereka
sebagai guru. Guru selalu berada dalam tegangan kelompok kepentingan yang
berpotensi mengerdilkan ciri konstruktif dan liberatif yang mereka miliki. Guru
bisa menjadi pelanggeng status quo atau pembangun tatanan baru. Guru mampu
terlibat dalam proses pencerahan, pemberdayaan, dan partisipasi dalam
masyarakat. Namun guru juga bisa terjebak pada kelompok kepentingan tertentu
yang menjadikan mereka sekedar alat-alat kepentingan ideologis kelompok mapan.
Yang pertama berbicara tentang fungsi liberatif guru, yang kedua fungsi
konservatif.
Cara kita memandang dua fungsi guru tergantung dari
bagaimana masyarakat memandang lembaga pendidikan. Pandangan konvensional
mengatakan bahwa bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai mekanisme
pemerataan kesempatan belajar bagi semua. Pendidikan akan mengidentifikasi dan
menyeleksi individu yang memiliki kemampuan intelektual, bakat-bakat, dan
motivasi yang kuat, tidak perduli mereka berasal dari kalangan mana, entah kaya
maupun miskin. Untuk itu, pengalaman mengenyam bangku pendidikan akan membekali
mereka dengan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang membuat mereka dapat
semakin hidup secara bermartabat dalam masyarakat. Jumlah pengetahuan dan
keterampilan yang mereka peroleh melalui pendidikan akan menjadi kriteria dan
indikator untuk menentukan jenis pekerjaan dan penghargaan materi yang melekat
dalam kepemilikan pengetahuan dan keterampilan tersebut (McNamee dan Miller,
2004, hlm. 14).
Pandangan ini menganggap bahwa lembaga pendidikan itu
bersifat meritokrasi, yaitu, memberikan kesempatan bagi mereka yang kurang
beruntung agar dapat bersaing dan berlomba dengan mereka yang telah mapan untuk
menduduki posisi penting yang lebih bermartabat dalam masyarakat. Anak-anak
keluarga miskin yang ulet, gigih dan mau belajar, akan dapat mengenyam
pendidikan tinggi yang memungkinkan mereka mengalami mobilitas sosial. Tanpa
ada jaminan dan persamaan kesempatan dalam mengenyam pendidikan, anak-anak
orang miskin dan mereka yang secara sosial terpinggirkan tidak dapat bangkit
dari keterpurukannya. Tanpa adanya akses pada pendidikan, mereka akan tetap
berkubang dalam kemiskinan dan kemelaratan tanpa ada jalan terbuka untuk
membebaskan diri dari situasi sosial yang meminggirkannya. Bagi mereka
pendidikan menjadi salah satu sarana mobilitas sosial dalam masyarakat.
Pendidikan membantu mengangkat harkat mereka yang
kurang beruntung dalam masyarakat menjadi setara dengan mereka yang memiliki
previlese, entah karena status sosial maupun warisan kekayaan turun temurun
yang memungkinkan anak-anak orang kaya menikmati keistimewaan dalam kehidupan
sosial mereka. Dalam konteks ini, guru memiliki fungsi liberatif, yaitu,
membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan dan membuat anak-anak orang miskin
mengalami mobilitas sosial dalam masyarakat.
Namun, selain pandangan bahwa pendidikan memberikan
persamaan kesempatan belajar pada setiap orang yang memungkinkan terjadinya
mobilitas sosial, terdapat juga pandangan lain yang lebih radikal. Alih-alih sebagai
lembaga yang membebaskan, pada kenyataannya sekolah hanya melestarikan status
quo dan mereproduksi struktur sosial dan ketimpangan dalam masyarakat. Sekolah
memiliki fungsi konservatif, yaitu melanggengkan ketimpangan dan semakin
memperlebar jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Sekolah bukannya
membawa si miskin pada mobilitas sosial lebih tinggi melainkan malah membuatnya
terpinggir dan tersisih.
Pengikut aliran ini tidak percaya peranan sekolah
sebagai lembaga yang mempromosikan persamaan dan kesempatan di mana sekolah
dapat menjadi alat mobilitas sosial bagi kaum miskin. Sebaliknya, mekanisme
pendidikan sesungguhnya mengotak-ngotakkan individu berdasarkan kelas sosial.
Pendidikan hanya mendaur ulang (reproduction) sistem kelas dalam masyarakat.
Sistem, struktur, dan kultur di sekolah tidak lain adalah cerminan dari
realitas sosial di dalam masyarakat di mana yang kaya akan semakin maju, dan
yang miskin akan semakin terpinggirkan. Model kurikulum, cara pengajaran dan
evaluasi belajar, misalnya, lebih menguntungkan mereka yang kaya, memiliki
sarana dan fasilitas yang baik serta tradisi pendidikan dalam keluarga yang
kuat. Anak-anak orang kaya ini memiliki modal sosial dan kultural yang lebih
dibandingkan anak-anak orang miskin yang secara faktual hidup dalam kubangan
kemiskinan yang membuatnya abai terhadap pendidikan.
Dalam situasi ketimpangan ini, proses penilaian hasil
belajar (evaluasi) di sekolah juga berat sebelah. Sekolah memberikan
nilai-nilai yang baik pada mereka yang memiliki keistimewaan (bakat, talenta,
kepandaian, kecerdasan, dll) yang umumnya telah dimiliki oleh anak-anak orang
kaya. Sistem pendidikan lebih menguntungan anak-anak orang kaya daripada
daripada orang miskin yang dari sononya memiliki defisit modal budaya.
Anak-anak orang kaya yang lebih cerdas mampu menguasai dan menyelaraskan diri
dalam sistem pendidikan yang ada. Mereka inilah yang akan mendapatkan ijasah
dan sertifikat serta mampu meneruskan ke perguruan tinggi bermutu sehingga
status sosial mereka tetap akan berada di kisaran atas dalam tatanan sosial
masyarakat.
Sebaliknya, sekolah memberikan hukuman kepada
anak-anak orang miskin yang kesulitan belajar. Tidak adanya sarana yang memadai
(buku pelajaran, dll), lingkungan belajar yang kondusif untuk memperdalam ilmu,
menumbuhkan disiplin, dll, membuat anak-anak orang miskin ini senantiasa
terpuruk. Merekalah yang selalu menjadi langganan ketidaklulusan dan drop out
dari sekolah.
Tidak jarang sekolah sudah membuat semacam
penggolongan dan seleksi (tracking) sejak awal di mana anak-anak orang miskin
sering diarahkan untuk mengenyam pendidikan yang dapat langsung membuat mereka
bekerja, seperti, mengarahkan mereka untuk memilih jalur SMK. Pendekatan
seperti ini, meski sekilas tampaknya baik, namun sesungguhnya semakin menjauhkan
mereka dari akuisisi modal budaya yang lebih tinggi yang memungkinkan mereka
mengalami mobilitas sosial. Anak-anak ini tetap akan terpuruk dalam lapis bawah
hirarki tenaga kerja dalam dunia industri. Ketimpangan seperti ini didaurulang
terus dari generasi satu ke generasi yang lain sehingga sekolah bukannya
menjadi alat yang memberikan persamaan belajar sehingga setiap siswa memiliki
akses pada pengetahuan universal, melainkan pendidikan semakin memperlebar
jurang perbedaan dan melanggengkan ketimpangan dalam masyarakat berdasarkan
kelas sosial.
Guru, dalam artian tertentu, seperti diindikasikan
oleh Harris (1982), memang bisa terjerumus menjadi antek dan kaki tangan
pemilik modal (agents of capital) yang melayani kepentingan ideologis
kapitalisme global dengan cara menanamankan kesadaran dalam diri anak didiknya
untuk menjaga, mempertahankan dan mendaurulang corak hubungan sosial kapital
dalam masyarakat yang telah ada. Guru pun yakin bahwa anak-anak orang miskin
ini pun tidak akan memiliki harapan di masa depan. Paling tinggi mereka hanya
bisa sekolah di sekolah kejuruan. Keyakinan guru yang seperti ini semakin
mempercepat self-fulfiling prophecy bagi anak-anak orang miskin. Ketika
anak-anak orang miskin juga yakin bahwa paling tinggi mereka bisa sekolah
hanyalah sampai SMK, semakin lengkaplah reproduksi tatanan sosial dalam
masyarakat terbentuk. Sekolah bukan lagi menawarkan harapan bagi pertumbuhan
yang lebih penuh, sebaliknya, menjadi tempat untuk melestarikan dan
memertahankan kemiskinan dan keterpurukan.
Contoh kebijakan pendidikan yang menyuburkan
self-fulfilling propechy dan menutup harapan anak-anak miskin untuk mengalami
mobilitas sosial adalah gagasan Mendiknas Bambang Sudibyo untuk menurunkan
rasio pendidikan SMA dan SMK dengan lebih menekankan peningkatan pada
pendidikan SMK. Pendekatan pendidikan seperti ini asumsi dasarnya adalah
sekolah sebagai perpanjangan tangan dunia industri yang menjadi penyedia tenaga
kerja bagi pemilik modal. Kebijakan ini hanya akan melanggengkan ketimpangan
dan melestarikan status quo, karena mereka yang melanjutkan ke perguruan tinggi
tetap akan menduduki jabatan tinggi, sedangkan lulusan SMK tetap menjadi
pekerja kelas bawah yang tidak memiliki kemungkinan mobilitas sosial selain
menjadi kaki tangan yang siap diekslpoitasi oleh kepentingan pemilik modal.
Di jaman persaingan ekonomi bebas seperti ini,
memperbanyak sekolah SMK hanya akan memosisikan anak-anak Indonesia menjadi
pekerja kasar pada jabatan paling bawah dalam hirarki industri. Mengarahkan
anak didik hanya ke SMK hanya akan menghalangi anak-anak kita akses anak-anak
terhadap pengetahuan universal. Yang dibutuhkan adalah akses masuk ke akademi
teknik yang setara dengan perguruan tinggi sehingga meningkatnya kualitas
pendidikan memberi para siswa daya tawar lebih yang memungkinkan terjadinya
mobilitas sosial. Memperbanyak SMK tanpa menyediakan keterbukaan akses untuk
memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi tetap akan memosisikan anak-anak orang
miskin pada posisi marginal. Di balik semua ini, lembaga pendidikan
sesungguhnya memosisikan guru sebagai tukang, teknisi dan kaki tangan pemilik
modal. Sekolah menjadi sebuah lembaga yang mempertahankan hubungan sosial dan
modal dalam masyarakat. Karena itu, guru menjadi sekedar perpanjangan tangan
ideologi kapitalis.
Akan selalu ada tegangan antara kepentingan negara,
kepentingan masyarakat (termasuk di dalamnya kepentingan bisnis dan kekuatan
media), serta kepentingan individu guru dalam mewujudkan identitas dirinya
sebagai pekerja budaya. Sebagai pekerja budaya, guru bisa menjadi perpanjangan
tangan kultur kapital yang mempertahankan status quo, namun tidak menyentuh
persoalan ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Namun
guru juga memiliki potensi sebaliknya. Mereka dapat menjadi pelaku aktif
pemberdayaan siswa dan masyarakat melalui pendidikan. Dalam konteks perdebatan
inilah kiranya pengembangan visi guru sebagai pelaku perubahan mesti
diletakkan.
Guru sebagai intelektual transformatif
Lembaga pendidikan memang bisa diredusir fungsi dan peranannya
menjadi sekedar kaki tangan pemilik modal untuk melanggengkan kepentingannya.
Namun demikian, lembaga pendidikan juga bisa memiliki peranan strategis lain
yang berbeda dengan kepentingan pemiliki modal. Giroux dan McLaren (1989)
berpendapat bahwa cara kita mendefinisikan peranan guru dalam masyarakat
menentukan cara di mana kita mengonstruksi tatanan masyarakat. “Alih-alih
mendefinisikan guru sebagai petugas administratif (clerk) atau teknisi, kita
mesti memahami kembali peranan para guru sebagai intelektual transformatif dan
terlibat (engaged and transformative intellectuals). Guru semestinya bersikap
kritis dan mampu merefleksikan prinsip-prinsip ideologis yang menjadi panduan
bagi praksis mereka. Mereka mestinya juga mampu menghubungkan teori pedagogi
dengan persoalan sosial yang lebih luas sehingga mampu menguasai dan
mengarahkan kinerja mereka secara lebih aktif dan transformatif. Dengan cara
ini, guru mengembangkan visi pembangunan tata masyarakat baru, yaitu, sebuah
visi tentang kehidupan yang lebih baik dan manusiawi melalui pendidikan dan
pengajaran yang mereka berikan. Guru mesti lebih menghayati keberadaan dan
peranan dirinya sebagai pelaku perubahan dalam masyarakat.
Melalui kinerja profesionalnya, guru bisa berperanan
lebih aktif dalam mengembangkan kesadaran kritis yang lebih produktif dalam
diri para siswa. Untuk itu, guru mesti meninggalkan inspirasi konservatif dan
mulai memeluk inspirasi demokratis. Jika pendidikan merupakan sebuah sarana
pembebasan yang memungkinkan setiap orang berpartisipasi aktif dalam membentuk
tatanan sosial dalam masyarakat, inspirasi demokratis merupakan jiwa yang
menghidupi kinerja guru sebagai pelaku perubahan.
Untuk menjadi pelaku perubahan, guru tidak dapat
melestarikan pandangan dan paradigma pendidikan yang sifatnya daur ulang dan
sekedar menjadi kaki tangan kapitalisme global. Untuk itu guru mesti
mengembangkan paradigma baru yang inspirasi dasarnya adalah nilai-nilai
demokratis yang mengutamakan partisipasi tiap individu dalam pengaturan tata
kehidupan masyarakat. Hanya melalui inspirasi demokratis inilah terdapat
jaminan bahwa setiap warga masyarakat memiliki hak dan persamaan dalam menata
hubungan sosial, politik, dan ekonomi antar mereka. Keterlibatan dan
partisipasi aktif dalam berdemokrasi memungkinkan terwujudnya keadilan,
dilindunginya hak-hak kelompok minoritas dan jaminan bagi mereka yang kurang
beruntung, agar mereka dapat tetap terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat.
Tanpa ada keadilan dan persamaan dalam mengenyam pendidikan, lembaga pendidikan
hanya akan melestarikan ketimpangan dan mengelompokkan orang-orang miskin
menjadi bagian pasif dan beban bagi masyarakat.
Gagasan dasar inspirasi demokrasi dalam pendidikan
adalah kepercayaan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam
pembangunan masyarakat. Individu bersama komunitas membangun diskursus dan
praksis dalam kehidupan bersama yang saling menumbuhkan, bukan saling menindas
atau mendominasi satu sama lain. Ada keseimbangan dan keadilan dalam memaknai
peranan masing-masing dalam kebersamaan yang sifatnya konstruktif dan penuh
rasa hormat.
Dalam konteks inilah guru memiliki peranan sangat
sentral dalam menanamkan inspirasi demokratis ini pada setiap siswa agar kelak
ketika mereka terjun dalam masyarakat, mereka dapat terlibat secara aktif dan
produktif. Dengan demikian mereka dapat menyumbangkan potensi pembentukan
masyarakat baru yang lebih manusiawi, adil dan memberikan rasa aman dan damai
bagi anggota masyarakat tersebut. Guru mesti menghayati identitasnya sebagai
intelektual transformatif yang melalui kinerjanya menyumbangkan pembangunan
tata masyarakat baru.
Dialektis dan simultan
Namun memandang peranan guru dalam dua binari, yaitu,
konservatif dan radikal, kiranya terlalu menyederhanakan persoalan perubahan
yang terjadi dalam lembaga pendidikan. Jejaring yang saling kait mengait dalam
profesi guru tidak dapat dipahami secara utuh jika dilihat hanya dari sudut
pandang struktural atau pun individual. Pada kenyataannya, dua hal ini bersifat
dialektis, simultan dan saling tergantung satu sama lain. Struktur adalah
konstelasi internal yang membuat keberadaan individu bermakna.
Ketidakseimbangan pembagian kekuasaan dalam sebuah struktur pendidikan bisa
menimbulkan sebuah relasi yang sifatnya dominatif. Struktur bisa menindas
individu. Namun demikian, individu pun juga bisa memiliki kewenangan absolut
dan otoriter yang mengatasi keberadaan struktur. Untuk itu memahami dinamika
kinerja guru sebagai pelaku perubahan tidaklah mencukupi jika kita sekedar
mengandalkan pendekatan biner.
Secara hakiki, guru memiliki preferensi individual
yang bisa serentak bersifat politis. Kinerja guru tidak dapat terlepas dari
jaringan relasi kekuasaan yang mereka miliki. Karena setiap relasi kekuasaan
hanya bisa hadir dalam sebuah lembaga, dan ketika kita berbicara tentang
lembaga mau tidak mau kita mesti mempertimbangkan individu sebagai unsur
konstitutif yang membentuknya, nilai-nilai, keyakinan dan praksis individu
dalam lembaga pendidikan menjadi penting untuk dianalisis. Nilai, keyakinan dan
praksis individu dengan demikian bisa bersifat politis atau apolitis,
konservatif atau radikal.
Jika keyakinan dan praksis yang dimiliki guru itu
cenderung mempertahankan status quo, apa yang terjadi dalam pengajaran bukanlah
sesuatu yang produktif. Sebaliknya, jika praksis guru diyakini sebagai bagian
dari kinerja pembangunan masyarakat, apa yang dilakukan guru di sekolah bisa
bersifat transformatif, membebasakan, dan memberikan ruang bagi partisipasi
individu dalam masyarakat demokratis.
Analisis struktural membantu kita bersikap kritis
dalam mencermati ketimpangan dan ketidakadilan dalam sebuah sistem organisasi.
Demikian juga menganalisis faktor-faktor individual yang membentuk sebuah
sistem memungkinkan kita melihat alternatif baru bagi sebuah perubahan. Tanpa
keyakinan bahwa individu mampu mengubah sistem dengan demikian mengubah corak
relasional antar individu menjadi lebih adil, gagasan guru sebagai pelaku
perubahan tidak relevan. Memiliki visi guru sebagai pelaku perubahan
mengandaikan bahwa kinerja individual dapat mengubah stuktur dan tradisi yang
menindas, yang menghalangi tiap individu mencapai kepenuhan dirinya sebagai
pribadi.
Saya yakin, lembaga pendidikan bukan hanya mampu
menjadi salah satu mekanisme bagi penyelaras perbedaan dalam masyarakat, pemberi
kesempatan belajar terhadap semua saja tanpa kecuali sehingga terjadi mobilitas
sosial. Lebih dari itu, guru sebagai pelaku perubahan diharapkan tidak lagi
menjadi pendidik yang mendaur ulang tumpukan pengetahuan, atau sekedar
mempersiapkan anak-anak didik agar dapat hidup aktif dalam masyarakat global,
melainkan juga mampu membangun tatanan masyarakat baru yang lebih adil, lebih
manusiawi, dan lebih bermartabat.
Percaya bahwa individu mampu mengubah struktur dan
membangun tatanan baru dalam lingkungannya mempersyaratkan kepemilikan
keterampilan agar guru dapat memulai, mengembangkan dan mempertahankan
inisiatif perubahan dalam dirinya. Setiap inisiatif perubahan yang terjadi
dalam diri individu tanpa disertai keterampilan yang memungkinkannya secara
efektif melaksanakan perubahan yang ingin diarah hanya akan membuat gagasan
tentang perubahan itu tidak realistis dan karena itu apa yang telah dimulai
bisa gagal di tengah jalan, atau tidak dapat berkelanjutan.
Menjadi pelaku perubahan mempersyaratkan agar guru
memiliki kemampuan dan kompetensi dalam merealisasikan visi dan komitmen
pribadinya. Guru mesti memiliki rasa penguasaan (personal mastery) diri dan
hidupnya yang akan memberikan dalam dirinya semacam kontrol atas hidup, dan
mampu memberikan penilaian bagi situasinya sendiri secara seimbang dan sehat
(Senge, 1994). Guru dapat mengenali dinamika dan situasi hidupnya sendiri
ketika berhadapan dengan tantangan di luar dirinya. Tanpa rasa penguasaan atas
hidupnya sendiri guru hanya akan ikut arus ke sana ke mari tanpa memiliki
otoritas dan kuasa atar dirinya sendiri. Salah satu cara agar guru tetap mampu
menumbuhkan kemampuan dirinya sebagai pelaku perubahan adalah dengan menghayati
visi pribadi.
Menghidupi visi dan inspirasi pribadi
Salah satu cara pengembangan keberadaan guru sebagai
pelaku perubahan adalah kemampuannya dalam menghidupi visi dan inspirasi yang
menjadi jiwa bagi kinerja profesional mereka. Tantangan berat guru sebagai
pelaku perubahan dalam sebuah masyarakat yang ditandai dengan jungkir balik
tatanan nilai adalah menghidupi visi dan inspirasi yang menjadi jiwa bagi
kinerja lembaga pendidikan.
Dalam bahasa manajemen, visi dipahami sebagai gambaran
mental tentang keadaan organisasi yang diinginkan di masa depan (Senge, 1990,
hlm. 9). Lembaga pendidikan yang tidak memiliki visi seperti sebuah kerumunan
orang tanpa tujuan yang bekerja sendiri-sendiri. Visi mengacu pada kenyataan
(realism), kepercayaan (credibility) dan ketertarikan (attractiveness) (Nanus,
1992). Ada kondisi atau keadaan nyata yang ingin dicapai melalui visi tersebut.
Keadaan yang akan dicapai itu merupakan sesuatu yang layak diperjuangkan karena
ada nilai dan kebaikan yang menjadi daya penarik, pengikat, pendorong semangat
yang memberikan tiap individu yang terlibat dorongan moral dan rasa memiliki
tugas dan panggilan bagi kehidupan. Karena itu, mengembangkan visi bisa berarti
menciptakan gambaran mental tentang situasi yang diinginkan di masa depan,
seperti, dalam konteks pengajaran dan pembelajaran. Termasuk di dalamnya menumbuhkan
lingkungan yang kondusif untuk mengajar dan belajar.
Visi menjadi panduan untuk menentukan isi dan proses
tentang bagaimana sekolah dan guru dapat melaksanakan tugasnya dalam mendidik
dan mengajar siswa. Tanpa memiliki visi ini, guru akan kehilangan inspirasi.
Tanpa inspirasi seperti ini, guru hanya akan menjadi bulan-bulanan permainan
jungkir balik nilai yang ada di dalam masyarakat, sebab pada kenyataannya tidak
semua nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat menjadi gagasan baru yang
senantiasa relevan bagi lembaga pendidikan pada umumnya, dan kinerja guru pada
khususnya.
Gagasan baru seperti kecepatan, produktifitas,
efektifitas dan efisiensi merupakan mantra yang telah menyerambah hampir ke
semua bidang kehidupan. Inilah nilai-nilai baru yang menguasai dinamika
kehidupan dalam masyarakat kita. Situasi ini jika tidak dicermati akan
menggerus visi dan mematikan inspirasi guru.
Kecepatan membuat apa yang kita lewati kemarin menjadi
barang lampau yang tidak relevan dibicarakan. Sementara laju perubahan ke depan
belum dapat diperkirakan dan kembali ke masa lalu sudah tidak bisa lagi, guru
bisa terjebak dalam sebuah sindrom yang oleh Lortie (1975) disebut dengan
sindrom kekinian (presentism), yaitu, sibuk mengurusi tugas hari ini yang
sifatnya jangka pendek, hasil bisa langsung dilihat dan dirasakan, seperti
misalnya bekerja sekedar memenuhi tuntutan agar siswa lulus ujian. Yang penting
membuat anak didik lulus Ujian Nasional, itu cukup. Yang lain dipikirkan
belakangan. Pendidikan budi pekerti? Apalagi. Pendidikan moral? Apa itu?
Kedisiplinan? Hm. jangan lagi bicara itu. Guru terpangkas kebebasan dan
otonominya menjadi sekedar kaki tangan birokrat pendidikan yang tidak mengerti
makna pembelajaran dan pengajaran. Guru tampaknya saja bekerja dan bahagia, padahal
pelan-pelan kelelahan fisik dan psikologis sedang menyerang dan menggerogoti
hidupnya.
Kegandrungan guru akan hari ini telah menggerus dan
mematikan inspirasi, visi serta harapannya di masa depan. Jika guru telah
kehilangan visi dan inspirasi yang menjadi pandu bagi pencarian makna
pekerjaannya hari ini dan di masa depan, kehampaan dan kesia-siaanlah yang akan
ia rasakan ketika seluruh tubuhnya sudah tidak mampu lagi bekerja sebagai guru.
Masa senja lantas berubah wajah menjadi saat-saat yang menakutkan. Padahal
menjadi tua dan kehilangan tenaga itu sudah merupakan kodrat manusia. Guru
tentu juga mengerti bahwa tidak selamanya ia akan menjadi guru. Ada saatnya ia
mesti berhenti dan menikmati jerih payah pengabdian di senja usianya. Namun
karena telah lama terjebak dalam sindrom kekinian, masa pensiun lantas datang
seperti teror. Ia tidak mampu memetik makna dari pengabdiannya selama ini.
Bukan hanya itu, ia akan menjadi frustasi saat tidak dapat bekerja lagi, sebab
sebagaimana ia percaya bahwa pekerjaan hanya bermakna hari ini, ketika tubuhnya
rapuh dan tak mampu lagi bekerja, ia akan merasa eksistensinya juga hilang
seiring menurunnya kemampuan fisiknya.
Visi dan inspirasi yang memotivasi para guru dalam
bekerja selalu terbentang di depan dan menjadi horison yang samar-samar ingin
digapai. Tanpa kekuatan menatap ke depan seorang guru bisa kehilangan tempat di
mana ia berpijak. Ia bisa kehilangan roh yang mempersatukan pengalamannya di
masa lalu, sekarang dan masa depan. Sayangnya, dinamika masyarakat telah
memangkas ikatan masa lalu ini dengan logika kecepatan yang diusungnya dan
menjerumuskan guru pada dinamika kekinian yang membuatnya sibuk, aktif, namun
kering dan miskin akan visi dan inspirasi atas apa yang sedang dikerjakannya.
Logika kecepatan juga bertentangan dengan dinamika
sebuah lembaga pendidikan yang menghargai proses. Pertumbuhan individu tidak
dapat dipaksakan. Ia berkembang selaras dengan bertambahnya usia. Anak didik
tidak dapat dikarbit dan dipaksa matang sebelum waktunya. Selain itu, ada hal-hal
dalam hidup yang tidak dapat ditera melalui nilai efisiensi dan efektititas.
Jika kita kaitkan dengan perkembangan kepribadian individu akan semakin
kelihatan bahwa untuk menjadi dewasa membutuhkan waktu. Kedewasaan tidak dapat
dipercepat. Memahami makna sebuah proses merupakan bagian integral dari sebuah
kinerja pendidikan.
Produktifitas adalah nilai-nilai baru yang menjadi
jargon kehidupan modern. Sekedar menerima gagasan ini tanpa mengkritisinya
membuat sekolah kita berubah wujud menjadi pabrik yang memproduksi anak-anak
pinter sementara mereka yang kurang mampu akan ditinggalkan dan disingkirkan.
Anak-anak yang tidak produktif, memiliki kebutuhan khusus, lambat belajar, akan
tersingkir dari sekolah-sekolah kita karena mereka tidak produktif dan kehadiran
mereka tidak memungkinkan sekolah bersaing dalam mengejar rangking dan prestasi
dengan sekolah lain. Logika produktifitas yang diterapkan dalam dunia
pendidikan bisa berubah menjadi praktik diskriminasi yang menyingkirkan
anak-anak yang lemah dan memiliki kebutuhan khusus. Padahal pendidikan adalah
hak bagi semua warga negara, tidak perduli mereka itu sehat, ataupun memiliki
kelemahan, baik itu fisik, maupun mental.
Produktifitas di satu sisi jika dipahami dengan lebih
baik dalam konteks pendidikan akan membantu guru menanamkan nilai-nilai
pembaharuan dan inovasi yang membantu perkembangan dan pertumbuhan masyarakat.
Banyak kritik terhadap sekolah sebagai sebuah lembaga yang tidak produktif,
melainkan sekedar mendaur ulang, mereproduksi pengetahuan dari tahun ke tahun
yang bukannya malah mempercerdas siswa, melainkan memperbodoh.
Dunia dan masyarakat menawarkan nilai-nilai baru yang
bisa selaras dengan cita-cita pendidikan, namun bisa juga bertentangan dengan
logika yang berlaku dalam dunia pendidikan. Guru dapat menjadi pelaku perubahan
jika memiliki sikap terbuka dan kritis serta kemauan untuk menemukan dan
menegaskan kembali nilai-nilai yang diyakininya selama ini. Pencarian makna di
tengah dinamika perubahan merupakan sikap dasar yang tidak boleh hilang dalam
horisan kehidupan seorang guru. Terjebak antara masa depan dan masa lalu, guru
semestinya menghayati makna pekerjaanya di masa kini dengan tetap merawat visi
dan inspirasi yang menjadi roh dan jiwa bagi kinerjanya sekarang tanpa terjebak
dalam logika kecepatan, efisiensi dan efektifitas yang menjerumuskannya dalam
sindrom kekinian.
Pemimpin adalah pelaku perubahan
Guru sebagai pelaku perubahan tidak lain adalah
menjadi pemimpin (leader) bagi diri sendiri dan bagi orang lain sehingga mereka
secara bersama-sama mampu membangun sebuah tatanan baru sesuai dengan cita-cita
dan harapan mereka. Pandangan ini mengandaikan bahwa dalam diri individu ada
potensi untuk berkembang. Kalau kita tidak memiliki kepercayaan bahwa dalam
diri individu terdapat potensi kebaikan dan pertumbuhan, gagasan tentang
perubahan radikal yang ingin kita kembangkan dalam diri guru tidak relevan.
Percaya bahwa dalam diri setiap individu ada kebaikan, potensi, dan pertumbuhan
adalah syarat mutlak pengembangan diri guru sebagai pelaku perubahan.
Menjadi pelaku perubahan hanya bisa mungkin jika ada
keyakinan bahwa dalam diri individu ada protensi pertumbuhan untuk berubah
menjadi lebih baik dan berkembang menjadi lebih sempurna. Untuk itu setiap
individu guru memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Guru merupakan pemimpin
(leader) dan pelaku perubahan pendidikan karena tanpa keterlibatan guru setiap
usaha untuk memperbaharui dunia pendidikan akan gagal. Dalam setiap pembaharuan
sekolah, inisiatif perubahan yang tidak menyentuh kehidupan guru tidak akan
mengubah banyak hal. Guru adalah garda depan dan pelaku perubahan dalam dunia
pendidikan. Berbagai macam peraturan, kebijakan, dan perubahan manajemen, dll,
meskipun baik, namun jika tidak sampai mengubah praksis guru di dalam kelas
hanya akan tinggal sebagai macan kertas perubahan.
Pemahaman kepemimpinan yang eksklusif sudah tidak
jamannya lagi. Kepemimpinan model ini menganggap bahwa tidak semua orang
terlahir menjadi pemimpin. Hanya individu yang terbentuk dengan kualitas dan
kemampuan khusus, ambisi, visi, kharisma dan pengalaman tertentu yang dapat
menjadi pemimpin. Pemimpin heroik adalah mereka yang mampu menyelamatkan
seluruh lembaga dan anggota-anggotan dari jurang kehancuran. Mereka percaya
bahwa individu itu dapat menjadi pemimpin besar karena ia terlahir untuk itu.
Pandangan demikian ini sesungguhnya mitos belaka.
Sebaliknya adalah benar bahwa setiap orang terlahir
dengan potensi menjadi pemimpin. Individu terlahir untuk menjadi pelaku
perubahan dalam hidupnya dan pembangun bagi masyarakatnya. Sebuah lembaga bisa
saja maju dengan kehadiran para pemimpin istimewa ini. Mereka bisa saja
menghasilkan perubahan, namun perubahan terjadi hanya dalam jangka pendek dan
gagal bertahan untuk seterusnya.
Masih banyak guru memiliki pandangan bahwa diri mereka
bukanlah pemimpin. Pemimpin dalam benak mereka adalah kepala sekolah, direksi,
dan jabatan struktural lain. Tidak mengherankan jika inisiatif perubahan dari
bawah jarang muncul. Guru lebih suka menyesuaikan diri dengan keinginan atasan
daripada melaksanakan visi dan inspirasinya sebagai pendidik. Secara
struktural-formal kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan. Namun guru
sesungguhnya guru adalah pemimpin pendidikan yang sesungguhnya sebab ia
mengelola kelas dan berjumpa langsung dengan siswa. Kemampuan guru sebagai
pemimpin benar-benar diuji dalam perjumpaan dengan para murid.
Tidak mudah mengubah konsep dasar yang kita miliki
tentang kepemimpinan. Menimpakan kesalahan dan ketidakberesan yang terjadi
dalam lembaga pendidikan pada pimpinan memang tindakan paling mudah yang bisa
dilakukan oleh guru. Kultur sekolah yang mengutamakan pendekatan “asal pimpinan
senang” bisa menghambat perubahan dalam lembaga pendidikan karena mereka yang
terlibat di dalam lembaga pendidikan merasa tidak enak dan rikuh jika mesti
menyampaikan data-data permasalahan yang sesungguhnya dihadapi di sekolah atau
dirasakan sebagai persoalan oleh anggota komunitas sekolah tersebut.
Guru pada dasarnya adalah pemimpin bagi hidupnya
sendiri dan dengan itu ia bersama-sama membangun sebuah idealisme dan cita-cita
bersama. Kepemimpinan (leadership) merupakan sebuah kapasitas manusiawi untuk
bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik dan mampu mempertahankan
proses perubahan yang terus berjalan (Senge, 1999). Perubahan ini pada
gilirannya menumbuhkan dan mengukuhkan identitas individu sebagai pelaku
perubahan. Setiap individu yang bekerja dalam lembaga pendidikan adalah pelaku
perubahan sebab mereka merancang masa depan pertumbuhannya sendiri dalam
kebersamaan dengan orang lain.
Guru merupakan profesi dan panggilan hidup yang
diperuntukkan untuk mengubah hidup orang lain dan dengan demikian mengubah
hidupnya sendiri dan masyarakat. Lembaga pendidikan melalui kinerjanya
sesungguhnya dapat membantu menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang lebih
baik dari yang sekarang ini ada kalau guru benar-benar dapat merealisasikan
peranannya sebagai pelaku perubahan. Namun, apakah para guru mau menyadarinya
dan sedia membentuk diri menjadi pelaku perubahan?
Sumber ; Widiyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar