Sejak merdeka, kurikulum pendidikan di Indonesia mengalami 11 perubahan.
Tapi, tahukah Anda bahwa saat ini Indonesia tergolong dalam top ten the worst
education system in the world?
Lantas, apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Pendidikan belum mampu mengubah pola pikir dan sikap peserta didik ke arah yang lebih baik. Pelajar SD sudah menjadi pelaku bullying, pelecehan seksual, pengguna narkoba, dan ketika naik jenjang SMP mulai mengenal tawuran pelajar, seks bebas, bahkan tidak jarang yang terlibat dalam tindak kasus kriminal berat, seperti pembunuhan, perampokan, dan kejahatan lainnya. Padahal, mereka terpelajar, tidak sedikit pula dari siswa yang bermasalah ini tergolong memiliki nilai akademis baik.
Ini bukti bahwa perubahan kurikulum berkali-kali tidaklah membawa perubahan baik jika penanaman akidah dan tsaqofah (ilmu) Islam lupa diberikan. Bukan pengakuan dunia menjadi top ten best education system in the world pula yang diharapkan, tapi bagaimana generasi bangsa ini mampu menjadi generasi pemimpin yang berkepribadian kuat, unggul, serta amanahlah
Lantas, apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Pendidikan belum mampu mengubah pola pikir dan sikap peserta didik ke arah yang lebih baik. Pelajar SD sudah menjadi pelaku bullying, pelecehan seksual, pengguna narkoba, dan ketika naik jenjang SMP mulai mengenal tawuran pelajar, seks bebas, bahkan tidak jarang yang terlibat dalam tindak kasus kriminal berat, seperti pembunuhan, perampokan, dan kejahatan lainnya. Padahal, mereka terpelajar, tidak sedikit pula dari siswa yang bermasalah ini tergolong memiliki nilai akademis baik.
Ini bukti bahwa perubahan kurikulum berkali-kali tidaklah membawa perubahan baik jika penanaman akidah dan tsaqofah (ilmu) Islam lupa diberikan. Bukan pengakuan dunia menjadi top ten best education system in the world pula yang diharapkan, tapi bagaimana generasi bangsa ini mampu menjadi generasi pemimpin yang berkepribadian kuat, unggul, serta amanahlah
7 Fakta yang
Menyebabkan Mutu Pendidikan Di Indonesia Berkurang
Mutu
pendidikan suatu bangsa merupakan cerminan dari bangsa tersebut. Jika pendidikannya
berkualitas, maka bisa dipastikan bangsa tersebut merupakan bangsa yang besar
dan menghargai pendidikannya. Salah satu tolok ukur yang menjadi keberadaban
bangsa adalah kualitas pendidikannya yang bermutu Indonesia. Sebagai salah satu
negara yang berkembang, tingkat pendidikan di Indonesia masih tergolong
rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Sistem pendidikan yang
masih berpusat di Kota merupakan problema bangsa ini yang hingga saat ini belum
tuntas juga. Pendidikan yang tidak merata, khususnya di daerah terpencil seakan
seperti mata rantai yang tak pernah putus ujungnya.
Pendidikan
merupakan tonggak suatu bangsa yang tidak bisa di tawar lagi. Jika
pendidikannya baik, maka di jamin generasi penerus bangsa akan bisa meneruskan
segala problema bangsa ini dengan baik pula. Sebagai generasi muda, ayo
kita turut membangun mutu pendidikan yang lebih baik tentunya.
Sebenarnya
apa saja yang menyebabkan mutu pendidikan di Indonesia berkurang? Temukan dan
simak fakta berikut ini :
1. Pembelajaran
hanya terpaku pada buku
Sistem yang
hanya berpaku pada buku paket inilah yang perlu di ubah persepsinya. Sebuah
buku memang diperlukan sebagai bagian dari proses belajar mengajar, namun tidak
harus berpaku pada buku tersebut. Selama ini, mahasiswa hanya berkutat dengan
buku-buku yang sudah di tentukan oleh para pendidik.
Sehingga
mahasiswa tidak memiliki wawasan yang luas dan hanya berkutat pada seputar buku
tersebut. Sudah sebaiknya sistem ini diubah. Pembelajaran yang baik adalah
pelajaran yang berasal dari sumber manapun. Dengan catatan sumber referensi
tepercaya. Di zaman teknologi yang serba canggih seperti saat ini, mencari
informasi dan referensi bisa secepat kilat. Dengan hanya bermodal koneksi
internet, semua bisa didapatkan.
Maka jangan
heran jika saat ini generasi bangsa ini menjadi menjadi malas membaca.
Kehadiran
buku paket, hanya akan menjadi buku formal dan hanya sebagai kewajiban yang
semata-mata dibeli oleh siswa yang bersangkutan. Jika sudah begitu, jangan
harap siswa akan membaca buku tersebut. Mayoritas guru akan mewajibkan siswa
tersebut untuk membeli buku. Hal inilah yang salah. Karena nantinya siswa akan
berpikir akan mendapat nilai jelek jika tidak membeli buku tersebut.
Sekilas
menilik pembelajaran di Indonesia belakangan ini, beberapa tahun sebelumnya
sudah mengalami beberapa perubahan. Mulai dari beberapa kurikulum dari KBK
hingga menjadi KTSP. Hampir setiap menteri mengganti kurikulum lama dengan
kurikulum yang baru. Namun, adakah yang berbeda dari kondisi pembelajaran di
sekolah-sekolah? TIDAK. Karena pembelajaran di sekolah sejak jaman dulu masih
memakai kurikulum buku paket.
Sejak era
60-70an, Pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Apapun
kurikulumnya, pendidik hanya mengenal buku paket. Materi dalam buku paketlah
yang menjadi “ACUAN” pengajaran guru. Sebagian Guru Tidak pernah mencari sumber
referensi lain sebagai acuan belajar.
Hingga kini
diterapkanlah kurikulum baru. Yakni, Kurikulum 2013 yang menjadi acuan
pembelajaran saat ini. Kurikulum yang dicetuskan mantan Menteri Pendidikan,
Moh. Nuh ini banyak menuai protes karena tidak sesuai dengan kemampuan siswa.
Siswa dituntut untuk lebih lama di sekolah dengan berbagai kegiatan akademik
yang berjalan hingga sore hari. Sistem Pekerjaan Rumah (PR) yang begitu banyak
sehingga membuat siswa jenuh.
Belum lagi,
dengan masalah guru yang bersangkutan. Guru juga dituntut hanya sebagai
fasilitator saja di dalam pembelajaran. Hal ini memang mendorong siswa menjadi
aktif, namun tidak menutup kemungkinan siswa hanya akan menjadi generasi
'copas' (copy paste). Karena siswa akan berpikir dengan menempuh
cara yang mudah dan cepat, yakni mencari sumber referensi dari web apapun.
Padahal informasi tersebut belum tentu merupakan sumber referensi yang bisa
dipercaya dan belum tentu benar.
2. Pembelajaran
hanya diterpakan dengan 'Metode Ceramah'
Fenomena
yang terjadi saat ini di tingkat sekolah adalah masih diterapkannya
pembelajaran dengan metode sistem ceramah yang kurang efektif. Metode ceramah
memang diperlukan, namun hanya sebagai pengantar saja pada sistem
pembelajaran.
Jika sudah
memasuki bab yang akan dibahas, metode dengan menggunakan sistem diskusi tentu
lebih baik untuk diterapkan. Dari diskusi inilah, siswa akan di ajak untuk
meningkatkan kemampuan nalarnya lebih luas lagi. Berbeda dengan metode ceramah,
hanya akan membuat siswa menjadi mengantuk. Bukannya bisa menyerap materi
pelajaran yang disampaikan guru, siswa akan cenderung lupa atau bahkan tidak
mengeri sama sekali terhadap apa yang guru sampaikan.
Mungkin
metode pembelajaran yang menjadi favorit sebagian guru hanya satu, yaitu metode
berceramah. Karena berceramah itu mudah dan ringan, tanpa modal, tanpa tenaga,
tanpa persiapan yang rumit, Metode ceramah menjadi metode terbanyak yang
dipakai guru karena memang hanya itulah metode yang benar-benar di kuasai
sebagai besar guru.
Pernahkah
guru mengajak anak berkeliling sekolahnya untuk belajar? Pernahkah guru membawa
siswanya melakukan percobaan di alam lingkungan sekitar? Atau, pernahkah guru
membawa seorang ilmuwan langsung datang di kelas untuk menjelaskan profesinya?
mungkin hanya satu alasannya, yaitu Biaya. Lagi dan lagi terkendala dengan
masalah biaya.
Mungkin,
sebagian guru berpikir, dengan menuntaskan tugasnya untuk mengajar, hal itu
sudah lebih dari cukup karena tidak ada anggaran dana untuk hal itu. Di sinilah
kesejahteraan seorang guru perlu dipertimbangkan. Karena guru merupakan
generasi pencetak bangsa.
Guru hanya
menyampaikan apa yang ia ketahui tanpa mendapatkan feedback dari anak didiknya.
Sehingga siswa cenderung menelan begitu saja informasi yang diterimanya. Apakah
ini merupakan suatu pembelajaran yang efektif ? Tentu saja tidak, karena siswa
hanya sebagai penerima informasi, bukan sebagai anak didik yang bisa
mengembangkan ilmunya lebih luas lagi.
Metode
ceramah memang sangat baik diterapkan guna memberikan contoh dan informasi yang
akan disampaikan kepada siswa. Namun, metode ceramah ini sebaiknya dilakukan
pada saat yang tepat. Misalnya, pada saat diskusi, jika ada siswa yang kurang
mengerti maka siswa tersebut meminta penjelasan lebih lanjut pada guru yang
bersangkutan. Inilah saatnya guru memberikan cerah secara lengkap dan jelas
mengenai mata pelajaran yang tidak dimengerti.
3. Kurangnya
sarana belajar
Fasilitas
turut menunjang di dalam proses kegiatan Belajar Mengajar. Jika tekad belajar
sudah bulat namun tidak didukung oleh fasilitas, tentu akan sia-sia jadinya.
Bisa di lihat, dari sarana dan prasarana yang kurang terjadi di sekolah-sekolah
terpencil. Berbeda halnya yang terjadi di kota-kota besar. Dengan fasilitas
yang cukup lengkap dan memadai, mereka bisa mengenyam pendidikan dengan baik.
Kesadaran
pemerintah dalam meningkatkan fasilitas sarana belajar perlu dipertanyakan.
Setiap sekolah berhak mendapatkan fasilitas yang lebih baik tentunya, begitu
juga dengan siswa. Setiap siswa juga berhak mendapatkan fasilitas yang memadai
guna menunjang proses pembelajarannya. Sekolah-sekolah di daerah terpencil juga
sangat membutuhkan sarana belajar yang memadai juga. Segala aspek keterbatasan
yang ada di dalamnya, perlu menjadi perhatian kita semua untuk membangun dan
mengembangkan sarana yang lebih baik.
Jika sarana
belajar terbatas, maka kegiatan belajar mengajar juga akan akan terbatas.
Sebagai contoh: Suatu sekolah di daerah yang membutuhkan perpustakaan, sebagai
sarana penunjang belajar tidak terpenuhi. Maka bisa dipastikan kegiatan
belajarnya juga akan sangat terbatas. Karena kurangnya sumber referensi yang
bisa dijadikan rujukan dalam proses belajar.
Lain halnya
dengan fasilitas sekolah-sekolah yang ada di kota. Segalanya tersedia di sana.
Bukan hanya sekedar perpustakaan, di kota-kota besar sekolahnya telah
dilengkapi dengan perpustakaan digital yang super canggih. Bukan hanya sekedar
perpustakaan, melainkan juga fasilitas laboratorium yang super lengkap. Inilah
letak perbedaan yang yang signifikan antar sekolah di daerah dan sekolah di
perkotaan. Tugas besar yang hingga hari ini masih menjadi tugas kita
semua.
4. Peraturan
yang terlalu mengikat
Peraturan
diterapkan yang selama ini di terapkan di sekolah-sekolah cenderung mengikat
siswa dalam peraturan yang di buat oleh sekolah. Peraturan berfungsi sebagai
suatu pedoman yang mengatur siswa. Peraturan memang penting, namun tidak
seharusnya bersifat mengikat. Siswa boleh diberi kebebasan namun harus sesuai
norma-norma yang berlaku.
Ini tentang
KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang seharusnya sekolah memiliki
kurikulum sendiri sesuai dengan karakteristiknya. Namun, apa yang terjadi?
Karena tuntutan RPP, SILABUS yang “membelenggu” kreatifitas guru dan sekolah
dalam mengembangkan kekuatannya.
Yang terjadi
RPP banyak yang jiplakan (bahkan ada loh RPP dijual bebas, siapapun boleh
meniru). Padahal RPP seharusnya unik sesuai dengan kondisi masing-masing
sekolah. Administrasi-administrasi yang “membelenggu” guru, yang menjadikan
guru lebih terfokus pada administrator, sehingga guru lupa fungsi utama lainnya
sebagai mediator, motivator, akselerator, fasilitator, dan lainnya
5. Guru tidak
menanamkan soal "Bertanya"
Suatu proses
pendidikan yang sukses, diawali dengan siswa atau mahasiswa yang sangat aktif.
Di Indonesia, hal bertanya masih jarang di terapkan. Padahal, bertanya
merupakan jalan siswa untuk memahami materi pelajaran yang disampaikan lebih
dalam. Melalui bertanya semua yang masih belum jelas menjadi lebih jelas atau
mungkin bisa di kembangkan lagi lebih luas. Lihatlah pembelajaran di ruang
kelas. Sepertinya sudah diseragamkan. Anak duduk rapi, tangan dilipat di meja,
mendengarkan guru menjelaskan. seolah-olah Anak “Dipaksa” mendengar dan
mendapatkan informasi sejak pagi sampai siang, belum lagi ada sekolah yang
menerapkan Full Days.
Anak
diajarkan cara menyimak dan mendengarkan penjelasan guru, sementara kompetensi
bertanya tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK untuk diam saat guru
menerangkan, untuk mendengarkan guru. Akibatnya Siswa tidak dilatih untuk
bertanya. Siswa tidak dibiasakan bertanya, akibatnya siswa tidak berani
bertanya.
Selesai
mengajar, guru meminta anak untuk bertanya. Heninglah suasana kelas. Yang
bertanya biasanya anak-anak itu saja. Hal ini bisa saja terbawa hingga ke
Pendidikan Tinggi. Rasa respect terhadap suatu materi pelajaran sangat
kurang. Sehingga siswa cenderung cuek terhadap apa yang di sampaikan
gurunya.
Fenomena
cuek terhadap suatu materi pelajaran, banyak terjadi di bangku perkuliahan.
Biasanya hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki rasa ingin tahu yang
lebih luas. Jika sudah begini, siapa yang patut disalahkan? tidak ada yang
tahu. Namun, bukan tugas kita untuk saling menyalahkan.
Tugas kita
adalah memperbaiki sistem pembelajaran yang masih kurang efektif ini. Bertanya
merupakan jembatan siswa dalam memahami materi pelajaran yang di sampaikan oleh
guru yang bersangkutan. Jadi, pada zaman sekarang tidak lagi belaku pepatah
“Malu Bertanya Sesat di Jalan”, melainkan Malu Bertanya tidak akan Paham”
6. Metode
pertanyaan terbuka tidak dipakai
Apa itu
metode pertanyaan terbuka? Metode pertanyaan terbuka merupakan metode ujian
dengan memberikan soal, tetapi mahasiswa boleh menjawab soal tersebut dengan
membaca buku. Metode ini ini diterapkan oleh negara Finlandia dan merupakan
salah satu ciri dari negara tersebut.
Sebagai
negara yang menduduki peringkat pertama pada kualitas pendidikannya, Finlandia
tidak takut untuk menerapkan metode tersebut. Sebaliknya menuai kesuksesan.
Terbukti, dengan ditempatkannya negara tersebut pada posisi teratas dalam
kualitas pendidikannya.
Bagaimana
dengan di Indonesia? Indonesia masih terkesan takut dalam menerapkan sistem
pertanyaan terbuka ini. Pendidik seakan takut dan berpikir mahasiswanya nanti
akan banyak yang menyontek. Pendidik di Indonesia belum siap menerapkan ini
karena masih kesulitan membuat soal terbuka. Soal terbuka seolah-olah beban
berat. Mendingan soal tertutup atau soal pilihan ganda, menilainya mudah,
begitu kira-kira alasan pendidik pada zaman sekarang.
Jika hanya
jalan mudah yang di pikirkan tanpa memperhatikan aspek yang lebih luas, yakni
aspek pemahaman siswa, maka pendidikan di Indonesia tidak akan pernah maju.
Metode pertanyaan terbuka merupakan sistem pendidikan baru yang bisa di
terapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dengan sistem ini, memungkinkan
siswa lebih memiliki daya berpikir yang kreatif dan bisa mengembangkan ilmu
yang didapatnya. Siswa tidak harus terpaku pada soal-soal yang di berikan
melainkan bisa menjawab soal dengan daya pirnya sendiri.
Kebiasaan
menjawab soal dengan metode menghafal sudah sangat sering diterapkan di
Indonesia. Sistem menjawab soal dengan seperti ini cenderung membebani para siswa.
Siswa di tuntut untuk selalu mengingat sesuai dengan yang ada di buku. Padahal
daya ingat sifatnya terbatas. Sehingga metode ujian pertanyaan terbuka ini
sangat tepat bila di terapkan di Indonesia.
Siswa-siswi
di seluruh Indonesia akan menyambut dengan antusias metode menjawab dengan
pertanyaan terbuka ini. Hal ini dikarenakan pikiran siswa akan enjoy dalam
menjawab soal-soal yang di ajukan.
Menerapkan
budaya metode pertanyaan terbuka, memang tidak harus selalu diterapkan secara
instan. Bisa dengan metode perlahan-lahan agar siswa tidak kaget jika metode
pertanyaan terbuka ini di terapkan. Sebenarnya budaya metode pertanyaan terbuka
sudah bisa diterapkan di Indonesia, namun realisasinya masih dalam tahap
wacana.
Selain itu,
dengan adanya metode pertanyaan terbuka seorang siswa juga akan dituntut untuk
memahami buku lebih luas. Secara otomatis, metode pertanyaan terbuka ini
mendorong siswa untuk gemar membaca.
7. Budaya
'Menyontek'
Terakhir,
adalah fakta tentang 'menyontek'. Satu kata yang mungkin sudah mendarah daging
pada generasi terdidik bangsa ini. Fenomena menyontek seakan bukan lagi menjadi
hal yang tabu pada saat ujian. Menyontek merupakan suatu tindakan yang
bertujuan mencari jawaban dengan cara bisa bertanya kepada teman atau pun
dengan cara membuat catatan kecil yang disimpan di dalam saku.
Sebenarnya
hal apa sih yang membuat seseorang menyontek? Menyontek dilakukan karena orang
tersebut merasa tidak bisa menjawab atas pertanyaan yang diajukan atau mungkin
orang tersebut merasa kurang yakin atas jawaban yang dibuatnya sendiri.
Kebiasaan menyontek ini bisa hadir karena sejak kecil kita telah di tanamkan
untuk menyontek. Kebiasaan-kebiasaan pada saat kecil inilah yang mendarah
daging hingga Perguruan Tinggi. Kebiasaan menyontek tidak serta merta bisa
dimusnahkan begitu saja. Perlu penanaman karakter untuk menghilangkan kebiasaan
yang tidak baik tersebut. Penanaman dengan lemah lembut dan penghapusan
kebiasaan menyontek secara perlahan bisa secara menghilang secara
kontinyu.
Di
negara-negara maju, kebiasaan menyontek hampir jarang di temui. Hal ini
dikarenakan pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam soal bersifat objektif.
Sehingga berbagai pertanyaannya bisa di jawab sesuai dengan pengetahuan yang di
miliki oleh siswa tersebut.
Bisa di
contoh, seperti beberapa kampus yang menerapkan larangan untuk menyontek.
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), merupakan salah satu kampus yang
menerapkan larangan untuk menyontek. Sekali ketahuan menyontek, maka langsung
di Drop Out. Hal ini merupakan suatu metode pendidikan yang patut untuk
dicontoh dan diterapkan di kampus lainnya. Metode ini bisa menciptakan lulusan
yang berkompeten dan berkualitas.
Terlepas
dari semua kasus yang menimpa alumni STAN, sistem pembelajaran seperti yang di
terapkan di kampus yang menghasilkan abdi negara di bidang perpajakan ini
sangat efektif untuk memusnahkan budaya menyontek. Tidak main-main, sanksinya
bagi yang melanggar peraturan ini ialah di DO (Drop Out).
Jika semua
kampus menerpakan sistem DO bagi yang menyontek, pasti 5 atau 10 tahun
mendatang Indonesia akan memiliki generasi-generasi bangsa profesional dan
amanah. Tidak hanya menjalankan tugasnya, melainkan ia mampu terhindar dari
korupsi.
Budaya
menyontek sesungguhnya merupakan akar budaya dari tindak korupsi. Mengapa
demikian? Karena dari hal menyontek, seseorang akan di ajarkan untuk
mendapatkan sesuatu yang di inginkan tanpa harus bekerja keras. Jika kebiasaan
seperti ini di bawa hingga terjun ke dunia kerja nanti, bukan hal yang mustahil
jika orang tersebut akan melakukan tindak korupsi.
Tindakan
korupsi di Indonesia banyak terjadi karena penanaman karakter yang terlanjur
salah di ajarkan ketika ia masih kecil. Sehingga orang yang bersangkutan akan
mempelajari hal lain yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Jika lingkungan
sekitarnya baik, maka baik pula karakter yang dimiliki orang tersebut.
Sebaliknya, jika karakter sekitar lingkungannya positif, maka orang tersebut
akan terbawa positif juga.
Untuk
menerapkan sistem pendidikan Indonesia yang bebas dari kegiatan menyontek,
perlu suatu kerja sama yang solid antara semua kalangan. Bukan hanya tugas
pemerintah, melainkan jga tugas kita semua dalam menjaga mutu pendidikan di
Indonesia ini. Hal apa yang bisa kita lakukan? Bisa dengan membuat gerakan anti
menyontek. Dengan adanya gerakan ini, kita bisa bekerja sama dan saling
bersinergi untuk mewujudkan Indonesia yang cerdas tanpa menyontek.
Itulah tujuh
fakta yang menyebabkan pendidikan di Indonesia berkurang. Sebagai generasi
penerus bangsa sudah menjadi tugas kita dalam turut serat memajukan sistem mutu
pendidikan di negeri ini. Kita ubah pola pemikiran yang bisa menyebabkan mutu
pendidikan kita menjadi rendah.
Ada berbagai
hal yang bisa kita lakukan untuk mengubah sistem mutu pendidikan yang lebih
baik di negeri kita ini. Yakni, dengan menanamkan nilai-nilai moral yang patut
kita terapkan pada masa-masa anak usia emas, yakni masa-masa di Taman
Kanak-Kanak (TK).
Satu hal
lagi yang lebih penting, pendidikan berkarakter merupakan acuan utama dalam
sistem pendidikan di Indonesia ini. Pendidikan berkarakter akan mempermudah
anak dalam mengembangkan bakatnya, sehingga dalam mempelajari suatu ilmu di
sekolahnya, ia akan bisa menyerap pelajaran sesuai dengan daya minatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar