Rabu, 28 Desember 2016

Keterkaitan Manusia dengan Agama



Keterkaitan Manusia dengan Agama

1. Kodrat Manusia Beragama
Untuk mengetahui kodrat manusia beragama ini dapat dilihat pada beberapa fenomena berikut:

a.Tentang do’a keselamatan.
Setiap orang pasti ingin mendapatkan keselamatan. Ia merasa dirinya selalu terancam. Makin serius ancamannya, doanya akan makin serius pula. Ia merasa kecil hidup di jagat raya ini seperti perahu kecil yang terapung di samudra yang amat luas. Karena ancaman tersebut ia ingin berpegangan da menyandarkan diri kepada sesuatu yang ia anggap sebagai yang Maha Ghaib dan Maha Kuasa. Sesuatu yang Maha Ghaib tadi tentu saja bukan sesuatu yang setingkat dengannya, apalagi lebih rendah. Sesuatu yang lain yang bukan dirinya sendiri itu Zat Yang Maha Kuasa, Maha Agung, Maha Suci dan sebagainya. Karena hanya dengan perasaan berhadapan dengan Zat Yang Maha Kuasa dan Maha Agung, ia mau tunduk dan patuh dengan hormat dan khidmat.

b.Tentang kebahagiaan abadi.
Setiap orang ingin mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang ia harapkan bukanlah kebahagiaan yang sementara tetapi kebahagiaan abadi. Anehnya tidak setiap orang mendapatkan kebahagiaan abadi seperti yang ia harapkan. Seorang pedagang pastilah dengan perdagangannya dan harta bendanya ingin mendapatkan kebahagiaan yang abadi tetapi pengalaman menunjukkan, bahw harta bendanya dan perdagangannya belum tentu membawa kebahagiaan yang abadi sebagaimana yang ia idam-idamkan. Kebahagiaan ini akan diperoleh seseorang bukan di dunia, tetapi di akhirat kelak. Kebahagiaan inilah yang dijanjikan oleh agama.

c.Memperhatikan tubuh kita sendiri.
Apabila kita merenungkan dan memperhatikan tubuh kita sendiri sebagai manusia dengan kerangka dan susunan badan yang indah dan serasi dengan indra hati dan otak yang cerdas untuk menanggapi segala sesuatu di kanan kiri kita, akan sadar bahwa kita bukan ciptaan manusia, tetapi ciptaan Sang Maha Pencipta, Zat Yang Maha Ghaib dan Mahakuasa.

d.Apabila kita mendapatkan persoalan yang dilematis.
Dalam kehidupan sehari-hari orang sering dihadapkan pada persoalan yang sulit. Ia dihadapkan pada berbagai pilihan. Ia harus memeras otak, memperimbangkan untung-rugi, plus-minus, dan aspek-aspek lain yang akhirnya dapat menentukan keputusannya. Anehnya ia baru merasa mantap dan puas apabila pilihannya telah disandarkan kepada sesuatu yang ia anggap Zat Yang Ghaib yang seolah-olah memberikan kepastian dan kemantapan pilihannya

e. Di samping empat fenomena di atas Allah dengan tegas menyatakan dalam dalam Al-Quran bahwa sejak dalam kandungan manusia sudah memiliki agama. Allah Swt. berfirman daam surat QS. al-A’raf [7]: 172.
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)".

Dari ayat di atas Allah mempersaksikan diri-Nya di hadapan jiwa-jiwa manusia dan jiwa-jiwa itu mengakui eksistensi-Nya. Jadi, sebelum manusia lahir ke muka bumi Allah telah membekali manusia
dengan keyakinan akan adanya Tuhan (agama), sehingga ketika manusia akhirnya mengingkari fitrah
kejadiannya ini, manusia akan menanggung resiko akibat kelalaiannya.

Dari fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa inti agama adalah kepercayaan adanya Zat Yang Ghaib dan kepada-Nya manusia bergantung dan memohon pertolongan. Maka watak/kodrat manusia itu beragama. Kalau manusia tidak beragama berarti ia melawan kodratnya sendiri. Dengan demikian, jelaslah bahwa keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dengan agama. Menurut seorang sosiolog Francisco J. Morino, sejarah agama berumur setua dengan sejarah manusia. Dia menambahkan, tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Bahkan Max Muller, seorang sejarawan agama, yang kemudian pendapatnya dikutip oleh Joachim Wach, mengatakan bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah agama. Agama, menurutnya, merupakan cara-cara yang sangat indah, yang telah dipergunakan secara bersama-sama oleh aneka umat jagad raya untuk meningkatkan pengetahuan dan cintanya yang mendalam kepada Tuhan. Agama menjadi rantai yang kokoh bagi keseluruhan mata rantai sejarah yang profan. Agama merupakan cahaya, jiwa, dan kehidupan sejarah. Tanpa agama sejarah akan benar-benar profan (sekuler) (Soeroyo dkk.,2002: 3).

2. Gambaran Manusia Beragama (Ekspresi Religius)
Gambaran pokok manusia beragama adalah penyerahan diri. Ia menyerahkan diri kepada sesuatu yang Maha Ghaib lagi Maha Agung. Ia tunduk lagi patuh dengan rasa hormat dan khidmat. Ia berdo’a, bersembahyang, dan berpuasa sebagai hubungan vertikal (hablun minallah) dan ia juga berbuat segala sesuatu kebaikan untuk kepentingan sesama umat manusia (hablun minannas), karena ia percaya bahwa semua itu diperintahkan oleh Zat Yang Maha Ghaib serta Zat Yang Maha Pemurah. Penyerahan diri itu oleh manusia yang beragama tidak merasa dipaksa oleh sesuatu kekuatan yang ia tidak dapat mengalahkan. Penyerahan diri itu dirasakan sebagai pengangkatan terhadap dirinya sendiri karena dengan itu ia akan mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang abadi. Penyerahan diri itu dilakukan dengan perasaan hormat dan khidmat dengan iman dan kepercayaan dengan pengertian di luar jangkauan manusia (metarasional).

Penyerahan diri manusia itu bersifat bebas dan merdeka. Dengan rasa kesadaran dan kemerdekaan ia memeluk agama dan menjalankan peraturan peraturan yang ia anggap dari Zat Yang Maha Ghaib itu. Dia merdeka bukan berarti bebas dan merdeka untuk berbuat segala sesuatu yang ia inginkan. Ia tidak bisa berbuat lain karena ia yakin bahwa berbuat lain adalah suatu pelanggaran yang berakibat akan membinasakan kepada dirinya. Di sinilah ia menemukan rasa tenteram dan bahagia.

Pengalaman manusia beragama dalam menjalankan aturan-atura agama mengintegrasikan hidupnya, sehingga hidupnya menjadi bertujuan dan bermakna. Tujuan itu terdapat dalam agama. Seringkali kita melihat orang yang berkecukupan, berilmu, berpangkat, dan berkuasa tetapi merasa bahwa hidupnya sepi, kosong, tidak ada kesatuan dan merasa adanya disintegrasi karena tidak adanya tujuan (lonely in the crowd).

3.Kebutuhan Manusia akan Agama
Kefitrahan agama bagi manusia menunjukkan bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama, karena agama merupakan kebutuhan fitrah manusia. Selama manusia memiliki perasaan takut dan cemas, selama itu pula manusia membutuhkan agama. Kebutuhan manusia akan agama tidak dapat digantikan dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang juga dapat memenuhi kebutuhan manusia dalam aspek material. Kebutuhan manusia akan materi tidak dapat menggantikan peran agama dalam kehidupan manusia. Masyarakat Barat yang telah mencapai kemajuan material ternyata masih belum mampu memenuhi kebutuhan spiritualnya.

Manusia dengan akalnya dapat melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi akal saja tidak mampu menyelesaikan seluruh persoalan yang dihadapi manusia. Terkait dengan hal ini agama sangat berperan dalam mempertahankan manusia untuk tetap menjaganya sebagai manusia. Kebutuhan manusia terhadap agama mendorongnya untuk mencari agama yang sesuai dengan harapan-harapan rohaniahnya. Dengan agama manusia dituntun untuk dapat mengenal Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya. Namun, kenyataannya agama agama yang ada tidak memberikan informasi yang sama tentang Tuhan. Hingga pertanyaannya adalah, agama mana yang dapat memberikan informasi tentang Tuhan yang sebenarnya. Di sinilah manusia dituntut untuk mencari agama yang dapat menjelaskan tentang Tuhan ini berdasarkan argument-argumen yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Ada beberapa argumen mengapa agama sangat dibutuhkan oleh manusia:

Pertama, agama merupakan sumber kebenaran mutlak. Setiap penganut agama mengakui kebenaran ajaran agama secara mutlak, terutama yang dinyatakan dalam kitab sucinya. Islam, misalnya, sangat menjunjung tinggi kebenaran yang dinyatakan dalam al-Quran, baik dalam hal ketuhanan (aqidah) maupun kebenaran tentang berbagai aturan dan hukum.

Kedua, agama sebagai sumber informasi tentang hal-hal yang gaib. Hanya agama yang dapat menjelaskan secara pasti masalah-masalah gaib seperti Tuhan, malaikat, surga, neraka, dan lain sebagainya. Informasi tentang hal ini selain dari agama tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan tidak boleh diyakini (diimani). 

Ketiga, agama sebagai sumber ajaran moral. Agama melalui kitab sucinya dengan rinci menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar dan salah, serta mana yang harus dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dengan menaati seluruh aturan agama, maka manusia akan bersikap dan berperilaku yang benar dan terhindar dari sikap dan perilaku tercela. 

Keempat, agama dapat memberikan nasihat yang sangat berharga bagi manusia baik di kala suka maupun duka. Dengan nasihat-nasihat agama, orang yang sedang suka dan mendapatkan berbagai kenikmatan tidak akan menjadi manusia yang sombong dan congkak, dan orang yang sedang duka dan mendapatkan berbagai cobaan dan kesempitan tidak akan putus asa.

4. Faedah Beragama
Sejak zaman primitif hingga era modern seperti saat ini, manusia tetap memerlukan Tuhan atau agama. Ini membuktikan bahwa bertuhan atau beragama menjadi fitrah manusia. Meskipun kehidupan agama sering ditutupi oleh pafam materialisme, komunisme, positivisme dan pragmatisme, agama tetap hidup dan tumbuh sepanjang zaman, tidak pernah mati.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan informasi dengan segala akibat negatifnya di dunia Barat, seperti mengesampingkan agama dan menempatkan akal sebagai suatu ukuran yang mutlak, telah menimbulkan krisis dalam bidang moral. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan manusia pada kehidupan yang mudah dan menyenangkan. Segala kebutuhan fisik dapat tercapai. Namun, ternyata setelah kebutuhan hidup secara materi tercukupi, masih ada kekurangannya. Terdapat kebutuhan primer yang lain yang harus dipenuhi yaitu pegangan untuk hidup berupa agama. Dengan agama manusia akan memperoleh petunjuk tentang apa fungsi, tugas serta tujuan hidupnya. Agama juga akan menunjukkan apa yang harus diusahakan dan bagaimana cara mengusahakan dan memperolehnya.

Sesuai dengan struktur manusia, yang terdiri dari jasmani (material) dan ruhani (spiritual), kedua hal tersebut harus dipenuhi kebutuhannya. Bagi sementara orang yang sudah mencapai tingkatan hidup yang lebih sempurna, spiritual lebih penting daripada material.

Faedah beragama antara lain:
  1. Dapat menjadi pedoman dan petunjuk dalam hidup. Agama memberikan bimbingan dalam hidup ke arah hidup yang lebih baik dan diridhoi Tuhan;
  2. Dapat menjadi penolong dalam mengatasi berbagai problem atau kesulitan hidup.
  3. Dapat memberikan ketentraman bathin bagi yang dapat menghayati dan mengamalkan agama dengan baik, sehingga menjadi sejahtera dan aman sentosa baik kehidupan pribadi, rumah tangga masyarakat dan bangsanya;
  4. Dapat membentuk kepribadian yang utuh, atau membangun manusia seutuhnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar