Keterkaitan Manusia dengan Agama
1. Kodrat Manusia Beragama
Untuk
mengetahui kodrat manusia beragama ini dapat dilihat pada beberapa fenomena
berikut:
a.Tentang
do’a keselamatan.
Setiap orang
pasti ingin mendapatkan keselamatan. Ia merasa dirinya selalu terancam. Makin
serius ancamannya, doanya akan makin serius pula. Ia merasa kecil hidup di
jagat raya ini seperti perahu kecil yang terapung di samudra yang amat luas.
Karena ancaman tersebut ia ingin berpegangan da menyandarkan diri kepada
sesuatu yang ia anggap sebagai yang Maha Ghaib dan Maha Kuasa. Sesuatu yang
Maha Ghaib tadi tentu saja bukan sesuatu yang setingkat dengannya, apalagi
lebih rendah. Sesuatu yang lain yang bukan dirinya sendiri itu Zat Yang Maha
Kuasa, Maha Agung, Maha Suci dan sebagainya. Karena hanya dengan perasaan
berhadapan dengan Zat Yang Maha Kuasa dan Maha Agung, ia mau tunduk dan patuh
dengan hormat dan khidmat.
b.Tentang
kebahagiaan abadi.
Setiap orang
ingin mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang ia harapkan bukanlah kebahagiaan
yang sementara tetapi kebahagiaan abadi. Anehnya tidak setiap orang
mendapatkan kebahagiaan abadi seperti yang ia harapkan. Seorang pedagang
pastilah dengan perdagangannya dan harta bendanya ingin mendapatkan kebahagiaan
yang abadi tetapi pengalaman menunjukkan, bahw harta bendanya dan
perdagangannya belum tentu membawa kebahagiaan yang abadi sebagaimana yang ia
idam-idamkan. Kebahagiaan ini akan diperoleh seseorang bukan di dunia, tetapi
di akhirat kelak. Kebahagiaan inilah yang dijanjikan oleh agama.
c.Memperhatikan
tubuh kita sendiri.
Apabila kita
merenungkan dan memperhatikan tubuh kita sendiri sebagai manusia dengan
kerangka dan susunan badan yang indah dan serasi dengan indra hati dan otak
yang cerdas untuk menanggapi segala sesuatu di kanan kiri kita, akan sadar
bahwa kita bukan ciptaan manusia, tetapi ciptaan Sang Maha Pencipta, Zat Yang
Maha Ghaib dan Mahakuasa.
d.Apabila
kita mendapatkan persoalan yang dilematis.
Dalam
kehidupan sehari-hari orang sering dihadapkan pada persoalan yang sulit. Ia
dihadapkan pada berbagai pilihan. Ia harus memeras otak, memperimbangkan
untung-rugi, plus-minus, dan aspek-aspek lain yang akhirnya dapat menentukan
keputusannya. Anehnya ia baru merasa mantap dan puas apabila pilihannya telah
disandarkan kepada sesuatu yang ia anggap Zat Yang Ghaib yang seolah-olah
memberikan kepastian dan kemantapan pilihannya
e. Di
samping empat fenomena di atas Allah dengan tegas menyatakan dalam dalam
Al-Quran bahwa sejak dalam kandungan manusia sudah memiliki agama. Allah Swt. berfirman daam surat QS.
al-A’raf [7]: 172.
Artinya :
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)".
Dari ayat di
atas Allah mempersaksikan diri-Nya di hadapan jiwa-jiwa manusia dan jiwa-jiwa
itu mengakui eksistensi-Nya. Jadi, sebelum manusia lahir ke muka bumi Allah
telah membekali manusia
dengan
keyakinan akan adanya Tuhan (agama), sehingga ketika manusia akhirnya mengingkari
fitrah
kejadiannya
ini, manusia akan menanggung resiko akibat kelalaiannya.
Dari
fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa inti agama adalah kepercayaan adanya
Zat Yang Ghaib dan kepada-Nya manusia bergantung dan memohon pertolongan. Maka
watak/kodrat manusia itu beragama. Kalau manusia tidak beragama berarti ia
melawan kodratnya sendiri. Dengan demikian, jelaslah bahwa keberadaan
manusia tidak dapat dipisahkan dengan agama. Menurut seorang sosiolog Francisco
J. Morino, sejarah agama berumur setua dengan sejarah manusia. Dia menambahkan,
tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Bahkan
Max Muller, seorang sejarawan agama, yang kemudian pendapatnya dikutip oleh
Joachim Wach, mengatakan bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah agama.
Agama, menurutnya, merupakan cara-cara yang sangat indah, yang telah
dipergunakan secara bersama-sama oleh aneka umat jagad raya untuk meningkatkan
pengetahuan dan cintanya yang mendalam kepada Tuhan. Agama menjadi rantai yang
kokoh bagi keseluruhan mata rantai sejarah yang profan. Agama merupakan cahaya,
jiwa, dan kehidupan sejarah. Tanpa agama sejarah akan benar-benar profan
(sekuler) (Soeroyo dkk.,2002: 3).
2. Gambaran Manusia Beragama (Ekspresi Religius)
Gambaran
pokok manusia beragama adalah penyerahan diri. Ia menyerahkan diri kepada
sesuatu yang Maha Ghaib lagi Maha Agung. Ia tunduk lagi patuh dengan rasa
hormat dan khidmat. Ia berdo’a, bersembahyang, dan berpuasa sebagai hubungan
vertikal (hablun minallah) dan ia juga berbuat segala sesuatu kebaikan untuk
kepentingan sesama umat manusia (hablun minannas), karena ia percaya bahwa
semua itu diperintahkan oleh Zat Yang Maha Ghaib serta Zat Yang Maha Pemurah.
Penyerahan diri itu oleh manusia yang beragama tidak merasa dipaksa oleh
sesuatu kekuatan yang ia tidak dapat mengalahkan. Penyerahan diri itu dirasakan
sebagai pengangkatan terhadap dirinya sendiri karena dengan itu ia akan
mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang abadi. Penyerahan diri itu dilakukan
dengan perasaan hormat dan khidmat dengan iman dan kepercayaan dengan
pengertian di luar jangkauan manusia (metarasional).
Penyerahan
diri manusia itu bersifat bebas dan merdeka. Dengan rasa kesadaran dan
kemerdekaan ia memeluk agama dan menjalankan peraturan peraturan yang ia anggap
dari Zat Yang Maha Ghaib itu. Dia merdeka bukan berarti bebas dan merdeka untuk
berbuat segala sesuatu yang ia inginkan. Ia tidak bisa berbuat lain karena ia
yakin bahwa berbuat lain adalah suatu pelanggaran yang berakibat akan
membinasakan kepada dirinya. Di sinilah ia menemukan rasa tenteram dan bahagia.
Pengalaman
manusia beragama dalam menjalankan aturan-atura agama mengintegrasikan
hidupnya, sehingga hidupnya menjadi bertujuan dan bermakna. Tujuan itu terdapat
dalam agama. Seringkali kita melihat orang yang berkecukupan, berilmu,
berpangkat, dan berkuasa tetapi merasa bahwa hidupnya sepi, kosong, tidak ada
kesatuan dan merasa adanya disintegrasi karena tidak adanya tujuan (lonely in
the crowd).
3.Kebutuhan Manusia akan Agama
Kefitrahan
agama bagi manusia menunjukkan bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari
agama, karena agama merupakan kebutuhan fitrah manusia. Selama manusia memiliki
perasaan takut dan cemas, selama itu pula manusia membutuhkan agama. Kebutuhan
manusia akan agama tidak dapat digantikan dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang juga dapat memenuhi kebutuhan manusia dalam aspek
material. Kebutuhan manusia akan materi tidak dapat menggantikan peran
agama dalam kehidupan manusia. Masyarakat Barat yang telah mencapai kemajuan
material ternyata masih belum mampu memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Manusia
dengan akalnya dapat melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi akal
saja tidak mampu menyelesaikan seluruh persoalan yang dihadapi manusia. Terkait
dengan hal ini agama sangat berperan dalam mempertahankan manusia untuk tetap
menjaganya sebagai manusia. Kebutuhan manusia terhadap agama mendorongnya untuk
mencari agama yang sesuai dengan harapan-harapan rohaniahnya. Dengan agama
manusia dituntun untuk dapat mengenal Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya.
Namun, kenyataannya agama agama yang ada tidak memberikan informasi yang sama
tentang Tuhan. Hingga pertanyaannya adalah, agama mana yang dapat memberikan
informasi tentang Tuhan yang sebenarnya. Di sinilah manusia dituntut untuk mencari
agama yang dapat menjelaskan tentang Tuhan ini berdasarkan argument-argumen
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Ada beberapa
argumen mengapa agama sangat dibutuhkan oleh manusia:
Pertama, agama merupakan sumber kebenaran
mutlak. Setiap penganut agama mengakui kebenaran ajaran agama secara mutlak,
terutama yang dinyatakan dalam kitab sucinya. Islam, misalnya, sangat
menjunjung tinggi kebenaran yang dinyatakan dalam al-Quran, baik dalam hal
ketuhanan (aqidah) maupun kebenaran tentang berbagai aturan dan hukum.
Kedua, agama sebagai sumber informasi
tentang hal-hal yang gaib. Hanya agama yang dapat menjelaskan secara pasti
masalah-masalah gaib seperti Tuhan, malaikat, surga, neraka, dan lain
sebagainya. Informasi tentang hal ini selain dari agama tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya dan tidak boleh diyakini (diimani).
Ketiga, agama sebagai sumber ajaran moral.
Agama melalui kitab sucinya dengan rinci menjelaskan mana yang baik dan buruk,
benar dan salah, serta mana yang harus dilakukan dan mana yang harus
ditinggalkan. Dengan menaati seluruh aturan agama, maka manusia akan bersikap
dan berperilaku yang benar dan terhindar dari sikap dan perilaku tercela.
Keempat, agama dapat memberikan nasihat yang
sangat berharga bagi manusia baik di kala suka maupun duka. Dengan
nasihat-nasihat agama, orang yang sedang suka dan mendapatkan berbagai
kenikmatan tidak akan menjadi manusia yang sombong dan congkak, dan orang yang
sedang duka dan mendapatkan berbagai cobaan dan kesempitan tidak akan putus
asa.
4. Faedah Beragama
Sejak zaman
primitif hingga era modern seperti saat ini, manusia tetap memerlukan Tuhan
atau agama. Ini membuktikan bahwa bertuhan atau beragama menjadi fitrah
manusia. Meskipun kehidupan agama sering ditutupi oleh pafam materialisme,
komunisme, positivisme dan pragmatisme, agama tetap hidup dan tumbuh sepanjang
zaman, tidak pernah mati.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan
informasi dengan segala akibat negatifnya di dunia Barat, seperti mengesampingkan
agama dan menempatkan akal sebagai suatu ukuran yang mutlak, telah menimbulkan
krisis dalam bidang moral. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan
manusia pada kehidupan yang mudah dan menyenangkan. Segala kebutuhan fisik dapat
tercapai. Namun, ternyata setelah kebutuhan hidup secara materi tercukupi,
masih ada kekurangannya. Terdapat kebutuhan primer yang lain yang harus
dipenuhi yaitu pegangan untuk hidup berupa agama. Dengan agama manusia akan
memperoleh petunjuk tentang apa fungsi, tugas serta tujuan hidupnya. Agama juga
akan menunjukkan apa yang harus diusahakan dan bagaimana cara mengusahakan dan
memperolehnya.
Sesuai
dengan struktur manusia, yang terdiri dari jasmani (material) dan ruhani
(spiritual), kedua hal tersebut harus dipenuhi kebutuhannya. Bagi sementara
orang yang sudah mencapai tingkatan hidup yang lebih sempurna, spiritual lebih
penting daripada material.
Faedah
beragama antara lain:
- Dapat menjadi pedoman dan petunjuk dalam hidup. Agama memberikan bimbingan dalam hidup ke arah hidup yang lebih baik dan diridhoi Tuhan;
- Dapat menjadi penolong dalam mengatasi berbagai problem atau kesulitan hidup.
- Dapat memberikan ketentraman bathin bagi yang dapat menghayati dan mengamalkan agama dengan baik, sehingga menjadi sejahtera dan aman sentosa baik kehidupan pribadi, rumah tangga masyarakat dan bangsanya;
- Dapat membentuk kepribadian yang utuh, atau membangun manusia seutuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar